Carok: Pelecehan Harga Diri dan Terhadap Kapasitas Diri.

Henry Arianto1, Krishna2

Illustrasi

Begitu pula kasus Carok lain yang terjadi di Madura, selalu bersumber dari perasaan malo tidak selalu hanya muncul secara sepihak, tapi adakalanya pada kedua pihak. Salah satu contoh kasus adalah Carok yang melibatkan Kamaluddin dan Mokarram ketika melawan Mat Tiken. Kamalludin merasa malo karena tindakan Mat Tiken yang mengganggu istrinya dimaknai sebagai pelecehan terhadap harga dirinya sebagai seorang suami, oleh karena itu, Kamaluddin merasa malo, kemudian melakukan Carok kepada Mat Tiken.

Mokkaram yang ikut membantu Kamaluddin ketika menghadapi Mat Tiken juga merasa ikutmalo, karena Kamaluddin adalah saudara sepupunya, yang dalam kategori sistem kekerabatan Madura termasuk dalam kategori taretan dalem. Cara Kamaluddin dan Mokaram melakukan Carok tersebut, oleh Mat Tiken, dimaknai pula sebagai pelecehan terhadap harga dirinya sehingga menimbulkan perasaan malo.

Dengan mengacu pada salah satu contoh kasus Carok tersebut, pelecehan harga diri sama artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas diri. Padahal, kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya dalam struktursosial. Peran dan status sosial ini dalam prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh individu yang bersangkutan, tetapi harus mendapat pengakuan dari orang atau lingkungan sosialnya.

Bahkan, pada setiap bentuk relasi sosial antara satu orang dan yang lainnya harus saling menghargai peran dan status sosial masingmasing akan tetapi, ada kalanya hal ini tidak dipatuhi. Bagi orang Madura, tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan sosial pada gilirannya timbullah perasaan malo. Dalam bahasa Madura, selain kata malo, juga terdapat kata todus, yang dalam bahasa Indonesia selalu diterjemahkan sebagai malu. Dalam konteks kehidupan sosial budaya Madura, antara malo dan todus  mempunyai pengertian yang sangat berbeda. Malo bukanlah suatu bentuk lain dari ungkapan perasaan todus(A. Latief, 2002).

Pada dasarnya, todus lebih merupakan suatu ungkapan keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu, karena adanya berbagai kendala yang bersifat sosial budaya. Misalnya, menurut adaptasi kebiasaan yang berlaku di Madura, seorang menantu ketika sedang berbicara dengan mertuanya tidak boleh menatap wajahnya secara langsung. Setiap menantu akan merasa todus  untuk berbicara kepada mertuanya dengan cara seperti itu. Jika kemudian menantu itu tidak disengaja melanggar adat kebiasaan ini maka dia akan merasa todus  kepada lingkungan sosialnya, dan akan disebut sebagai orang ta’tao todus (tidak tahu malu) atau janggal (tidak mengerti etika kesopanan).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.