Asta Tinggi, Menghargai Keanekaragaman

Santri beranggapan bahwa, kepergiaannya ke asta tinggi di samping tawassul kepada asta raja-raja Sumenep dan para wali, mereka juga meyakini dengan berziarah, akan mengingat mereka atas kematiaan. Hal itu diungkapkan oleh almarhum KH. Tsabit Khazin (mantan pengasuh Pondok Pesantren An-Nuqoyah Guluk-guluk). Walaupun tidak semua santri berziarah bersama rombongannya, akan tetapi, banyak juga rombongan santri dari berbagai macam organisasi keagamaan (jama’ah istighasah, tahlilan, sholawatan,dll) yang berziarah dengan membacakan do’a di sana.

Berbeda dengan kalangan santri, seniman sinden mendatangi asta tinggi hanya untuk berdo’a agar profesi yang digelutinya dapat laris di pasaran seni tradisional. Begitu pula dengan kelompok saronen, mereka biasanya datang dengan diajak para penghobi kerapan sapi yang memenangkan pertandingan. Dengan memainkan musik saronen di depan gerbang asta tinggi, mereka mengekspresikan rasa syukurnya atas kemenangan dalam pertandingan kerapan sapi.

Dari kedua kelompok masyarakat (seniman dan santri) itu, setidaknya ada perbedaan yang signifikan dalam mengekspresikan ziarah kubur. Perbedaan itu kemudian berangkat dari keyakinan masing-masing terhadap ekspresi berdo’a atau bersyukur di depan asta tinggi Sumenep. Bagi kalangan santri, ekspresi ziarah kubur seharusnya dapat dilakukan dengan hanya membacakan doa buat almarhum. Ada dampak terhadap almarhum yang ada di alam kubur, dan dampak terhadap kita yang masih berada di dunia ini. Dampak yang dimaksud bisa pengampunan dosa bagi yang dikirimi doanya dan berupa barokah terhadap hidup kita yang masih bisa menikmati hidup.

Adapun bagi seniman saronen, ekspresi ziarah kubur tidak harus berupa do’a-do’a arabiyyah seperti yang dilakukan oleh kelompok santri. Ekspresi yang dimaksud seniman lokal itu adalah ekspresi yang termanifestasikan dalam bentuk lirik lagu dari kejungan (bahasa Madura: nyanyian) yang mereka lantunkan denga diiringi musik saronennya. Barangkali itu bentuk kontekstualisasi kebudayaan di Sumenep. Akibat dari tindakan itu, banyak kalangan santri yang memberi kritikan, mereka menggap bahwa ekspresi itu berpengaruh terhadap sakralitas ritual keagamaan. Jangankan memainkan saronen di depan asta tinggi, di tempat lain pun saronen sudah dianggap musik yang dapat merusak moralitas masyarakat. Karena di dalamnya terdapat aksi seni, berupa kejungan yang berdampak terhadap keharmonisan hubungan rumah tangga.

Responses (2)

  1. SAYA SUKA DAN SENENG BANGET TENTANGBUDAYAMADURA……GMNCR SUPAYA SY BISA MENGCOPY FILE LONTAR…

    1. Sebenarnya dg terpaksa kami protek artikel posting, lantaran kami temui banyak tulisan di blog lain dari Lontar Madura, tanpa mencantumkan sumbernya. Bagaimana cara bisa “ngambil” artikel yang protek, jawabannya lihat di mail anda …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.