oleh : Tadjul Arifien R
Raden Wijaya Mengungsi Ke Sumenep
Diceritakan bahwasanya Raden Wijaya telah beberapa kali selalu terhindar dari bahaya maut kejaran pasukan Jayakatwang, tetapi karena dirinya sebagai panglima perang yang cakap dan tangguh. Dan masih mampu mengatur siasat bersama dengan beberapa pengikut setianya untuk mengelabui para musuh-musuhnya. Terutama Lembusora yang punya peranan penting dalam mengatur strategi tersebut dan bilamana terjadi pertempuran hebat, dapat dipastikan Lembusora selalu dekat dengan Raden Wijaya untuk melindunginya. Selanjutnya rombongan Raden Wijaya berupaya menuju ke utara kearah pantai, dalam setiap perjalanan mereka selalu saja berpapasan dengan pasukan musuh yang hanya berjumlah agak kecil dan masih mampu menanggulanginya. Untuk mengurangi hambatan yang selalu datang dengan tiba-tiba maka perjalanannya banyak dilakukan pada malam hari, bilamana siang hari bersembunyi di desa-desa yang masih memihak kepada kerajaan Singasari.
Dengan mengalami banyak rintangan yang tidak kecil Raden Wijaya tetap melanjutkan perjalanannya menuju pantai, dan untuk mengelabuhi para pasukan musuh maka memilih naik perahu alur kali Brantas, dengan demikian merupakan suatu hambatan bagi pasukan Jayakatwang untuk mengejarnya. Setelah rombongan Raden Wijaya tiba di pantai utara Jawa Timur, dirinya mengalami kelelahan luar biasa dan berupaya mencari tempat untuk beristirahat sementara.
Dari desa Datar maka Raden Wijaya mendapatkan perahu menelusuri sungai Brantas kemudian menyeberangi selat Madura menuju ke Sumenep, selanjutnya terus berlayar dan mendarat di pesisir pulau tandus tersebut. Diceritakan bahwa ketika perjalanan di Madura para rombongan Raden Wijaya sampai di suatu desa melepaskan lelah dan beristirahat. Dalam peristirahatan tersebut Lembusora tidur terlentang dengan menyediakan dadanya untuk diduduki oleh Raden Wijaya bersama permaisurinya, hal itu menunjukkan kesetiaan Lembusora terhadap junjungannya, seperti yang dikisahkan bahwa Lembusora adalah saudara dari Arya Wiraraja dan disebut sebagai orang Madura yang keras. Maka timbul kesan bahwa sekalipun orang Madura tampak tegas dan keras tapi masih tetap tidak meninggalkan budaya ketimuran, yakni sangat setia kepada pemimpin selaku panutannya, bahkan lebih condong kepada paternalistik.
Setelah beberapa waktu kemudian sampailah rombongan Raden Wijaya ke Kadipaten Arya Wiraraja di Batuputih Sumenep. Kebetulan kala itu Arya Wiraraja sedang melakukan pasowanan di pendopo agung yang dihadap oleh para pembesar keraton Sumenep. Begitu melihat kedatangan Raden Wijaya bersama rombongan maka Arya Wiraraja membubarkan pasowanan tersebut, kemudian meninggalkan pendopo agung. Dan Raden Wijaya yang masih ada didepan regol kadipaten bersama rombongan merasa tersinggung dengan sikap Sang Adipati, namun oleh para pengikutnya dimohon agar tetap bersabar, karena Adipari Sumenep merupakan harapan terakhir untuk minta perlindungan.
Tulisan bersambung:
- Adipati Arya Adikara Wiraraja (I)
- Adipati Arya Adikara Wiraraja (II)
- Arya Wiraraja Pendiri Kerajaan Majapahit
- Berakhirnya Kerajaan Singasari
Setelah beberapa waktu berselang Adipati Arya Wiraraja datang menuju pendopo agung diiringi beberapa Lurah dan inang pengasuh serta para Sinden (penari istana) yang merupakan penyambutan yang luar biasa dilakukan oleh Arya Wiraraja demi baktinya pada junjungannya. Kemudian permaisuri Raden Wijaya dinaikkan tandu sedang Raden Wijaya dipersilahkan naik kuda yang disiapkan, yang dituntun oleh Arya Wiraraja menuju balairung utama di belakang regol tengah. Disana telah disiapkan bermacam-macam makanan lezat lengkap dengan buah-buahan serta minumannya. Raden Wijaya bersama permaisurinya juga dengan para pengikutnya. Sambil lalu disuguhi dengan berbagai pertunjukan. Setelah selesai diadakan pertunjukan maka Raden Wijaya dengan permaisurinya dianjurkan beristirahat di tempat yang telah disediakan serta telah ditata sedemikian rupa sebagai penghormatan terhadap calon Raja di tanah Jawa kelak, dan hal itu telah bisa diamati oleh Arya Wiraraja sebagai pengamat politik yang handal.