Adat Perkawinan Suku Madura Perantauan

perkaiwnan-suku-madura
Nilai kekerabatan suku Madura, pada peristiwa perkawinan

Sistem kekerabatan bagi masyarakat Madura merupakan tatanan budaya yang sangat mengikat dengan batas wilayah yang jelas, semisal antara orangtua, anak serta lainnya yang menyangkut keturunan, seperti nenek, kakek, paman, bibi, keponakan, ipar, dan lainnya. Hal ini dapat diperhatikan dalam peristiwa perkawinan orang Madura, yang merupakan peristiwa budaya yang besar dalam tatanan kekerabatan, sebab dalam peristiwa ini semua pihak terlibat didalamnya.

Pemberlakuan sistem kekerabatan pada peristiwa perkawinan tidak sekedar terjadi fi wilayah pulau Madura saja, bahkan bagi orang Madura perantauan, pertalian persaudaraan menjadi titik tolak yang dominan, sehingga peristiwa besar ini menjadi wahana bertemunya semua latar, generasi dan komunitas etnis Madura.

[junkie-alert style=”green”] Berikut kami sajikan tulisan menarik sekitar nilai kekerabatan dalam perkawinan etnis atau suku masyarakat Madura di rantau, yang ditulis oleh Umar Noyo *) [/junkie-alert]

Perkawinan Menurut Suku Madura Rantau Panjang

Berawal dari hasil penelitian dan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat bahwa perkawinan suku Madura terjadi karena didukung oleh kedua faktor yang berbeda namun, ada keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Kedua faktor itu yaitu :

Faktor Agama

Harus diakui bahwa masyarakat Desa Rantau Panjang mayoritas beragama Islam, maka perkawinan suku Madura sangat identik dengan agama. Misalnya dalam pelaksanaan perkawinan (pernikahan) biasanya dilakukan berdasarkan aturan-aturan/syarat-syarat sampai pada tata cara pelaksanaannya. Apabila mereka melanggar aturan-aturan ini maka perkawinannya dianggap tidak sah atau dengan kata lain tidak dianggap telah menikah, mengapa demikian ? karena mereka (orang Madura) melaksanakan perkawinannya diluar aturan Islam dianggap telah melanggar ajaran agamanya. Selain itu dianggap melakukan dosa besar dan telah berbuat zinah.

Faktor Adat (kebiasaan)

Adat ini pada mulanya dibawa oleh nenek moyang mereka dari pulau Madura, kemudian mereka menetap di Rantau Panjang sampai saat ini, sehingga adat perkawinan ini menjadi kebiasaan turun-temurun sampai anak cucu mereka saat ini. Yang dimaksud dengan adat/kebiasaan ini berkaitan dengan waktu pelaksanaan perkawinan dan alat-alat perkawinannya.

Didalam ajaran Islam sendiri tidak dianjurkan harus memilih waktu dan harus ada alat-alatnya, namun mereka merasa ini sudah menjadi kebiasaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak dulu, sehingga mereka tetap melestarikan dan mempertahankan tradisi/kebiasaan itu selain itu juga untuk menghormati tradisi nenek moyang mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.