Syaf Anton Wr
Tradisi atau kebiasaan yang kerap terjadi di tengah masyarakat tradisional, kadang dianggap aneh, tidak lazim bahkan menjadi lucu. Hal ini pula yang terjadi di masyarakat Pulau Poteran, tepatnya di wilayah kecamatan Talango Kabupaten Sumenep. Wilayah kecamatan yang terletak sekitar 12 km dari pusat kota Sumenep itu, untuk mencapai tujuan harus menyeberang selat yang berjarak sekitar 10 – 15 menit dengan menumpang perahu atau perahu tongkang, dengan mata pencaharian nelayan, petani tegalan, sebagian kecil pedagang.
Tidak tampak sesuatu yang aneh dan menarik bila memasuki wilayah yang berpenduduk 41107 jiwa (2012), kecuali pulau seluas sekitar 48,8 km2 itu dikitari pantai. Namun dari keunikan tradisi masyarakatnya ditempat itu pula terdapat tradisi masyarakat yang unik dan menarik yaitu tradisi pengantin anak (kecil), bukan pengantin anak-anak “tan-pangantaran” sebagaimana tradisi permianan anak di Sumenep.
Pengantin anak, atau pengantin kecil, dilakukan sebagaimana pengantin dewasa, diselenggarakan secara formal sebagaimana terjadi pada orang dewasa. Sebagaimana terjadi pada pengantin dewasa, pengantin anak ini dilakukan dengan proses mulai awal peminangan, pertunangan (bebekalan) sampai proses resepsi perkawinan. Namun kali ini tidak dilakukan ijab kabul pernikahan. Mengapa demikian?, memang kedua mempepelai masih belum pantas dan tidak layak diikat sebagai suami istri.
Gaya Hidup.
Gaya hidup tampaknya kerap membebani masyarakat setempat untuk menunjukkan kepada masyarakat lain bahwa dia (mereka) mampu melakukan suatu hajatan besar dalam memeriahkan “perkawinan” anak-anaknya, meski harus dilakukan jauh sejak dini.
Bahkan konon, proses pelamaran sampai pertunanganpun bisa terjadi dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Hal ini tentu dilatari hasil kesepakatan dari kedua belah pihak (orang tua dengan calon besannya) dengan ikatan perjanjian, “bila nanti anakmu lahir dan sudah waktunya akan kuminta kujadikan menantuku”, demikian kira-kira ungkapan perjanjiannya.