Tapi kerap sang orang tua tidak betah menunggu sampai anak menjadi remaja atau dewasa. Mereka justru terburu-buru untuk segera diramaikan dalam prosesi pengantinan untuk memastikan bahwa dia menjadi kebanggaan keluarga, meski anak tersebut masih belum dewasa, dan bahkan masih “bau kencur”. Selain itu, konon agar sang kakek atau nenek mumpung masih ada dan hidup biar ikut merasakan kegembiraan menyaksikan cucu-cucunya duduk di pelaminan.
Perjodohan sejak dini, khususnya bagi masyarakat yang masih terpaku pada tradisi ini, tentu merupakan bagian terpenting dalam komunitas keluarga dan lingkungannya. Sebab kalau sampai terjadi keterlambatan tidak segera meramaikan pengantinan ini tentu akan menjadi aib bagi sanak keluarga. Karena dianggap sang anak tidak laku suami atau tidak laku sebagai istri. Untuk itulah, akan menjadi prestise para orang bila segera menjodohkan anaknya, dan secepat itu pula memeriahkan hajatan perkawinan putra-putrinya.
Tradisi ini memang sudah lama berlangsung sejak nenek moyang mereka secara turun menurun. Perkawinan usia dini dalam perpekstif hukum memang tidak menguntungkan, bahkan membelenggu hak-hak anak untuk menentukan pilihan hidupnya. Namun tradisi tetap tradisi, yang sering menjadi bagian “pembenaran” pada masyarakat tertentu. Penjodohan sejak dini tampaknya sudah mendarah daging di wilayah pulau ini. Untuk itu, di pulau ini kerap sulit menemukan garis remaja yang singgle atau jomblo. Kecuali masyarakat tertentu yang mengabaikan tradisi tersebut.
Sebagaimana tradisi pengantin masyarakat Sumenep umumnya, dalam menentukan perjodohan dumulai dari ngen-angenan atau kabhar, yaitu orang tua berusaha untuk mencari calon isteri untuk anaknya yang kelak dan berkeinginan mencari pasangan hidup dengan meminta bantuan kepada seseorang yang disebut dengan pangade’, kemudian dilanjutkan arabas paghar, yaitu peran sang pangade’ mencari keterangan calon pengantin yang diincarnya melalui tetangga atau kerabat, setelah melalui proses awal yang begitu panjang maka dimulailah proses lanjutan yang disebut masa bertunangan alias abakalan, lalu nyaba’ jhajan atau lamaran dan seterusnya sampai pada resepsi perkawinan sebagai kisah diatas. Namun tidak menutup kemungkian terjadinya perjodohonan ini tanpa “dibantu” pangade’, tapi kesepakatan secara langsung kedua belah pihak.
Namun demikian kerap yang terjadi pilihan calon suami atau istri jatuh pada orang-orang dekat, yaitu keluarga dekat atau famili, bahkan persaudaraan yang tidak terikat muhrim. Hal ini untuk menjadi kesinambungan kekeluargaan, dan sudah jelas teruji bebet, bobot dan bibitnya, serta urusan warisan yang nantinya tidak akan jatuh pada pihak atau keluarga orang lain.
Mengingat peristiwa ini menjadi gaya hidup, biayanya prosesi akan memakan nominal cukup besar. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi tuan rumah bila pada saat perayaan macam ini bisa memotong 3 – 5 sapi serta mengundang sekian ratus bahkan ribu orang untuk hadir dan menyaksikan resepsi pengantin ini.
Namun tentu hajat besar ini tidak dilakukan dengan cara resepsi, namun umumnya dilakukan dengan mengundang “jam sehari”, yaitu selama satu hari itu (bahkan sampai 3 hari) terundang bisa hadir setiap saat, pagi, siang, sore atau malam hari, dengan cara lesehan. Kadang pula didatangkan pula klenengan dan tayub (tetabuhan gamelan), topeng dhalang, lodrok, atau musik dangdut. Hal ini tergantung sejauh mana rasa prestise tuan rumah dipertaruhkan.