Pengatin yang Diarak

Keramaian di bawah terop dan suara loudspeeker yang nyaring saja tidaklah lengkap tanpa diawali dengan arak-arakan sang mempelai. Dimulai dan diberangkatkan dari rumah besan (mempelai laki-laki) atau tempat yang dianggap tepat kearah menuju tempat hajatan, maka diarakkan pengantin anak itu dengan menunggang kuda, yaitu kuda kenca’ atau kuda serek dengan iringan musik saronen serta sejumlah pengantar (umumnya wanita) dengan mengenakan pakaian adat rakyat Madura dengan membawa sejumlah bawaan (penampan) beriringinan menuju tempat hajatan.
Pada saat itulah, pergelaran menjadi menarik, selain terdapat kedua mempelai penagntin anak naik kuda, sang kudapun ikut menari-nari mengikuti irama saronen, sementara sang pengiring di bagian belakang kerap melemparkan senyum manis sebagaimana senyum kesederhaan gadis desa.
Namun kerap yang terjadi, iringan-iringan itu tidak langsung menuju ke pelaminan, tapi justru diarahkan ke tempat guru ngaji, dimana kedua atau salah satu anak belajar mengaji atau sesepuh keluarga/masyarakat mereka untuk meminta doa restu. Baru pada malam harinya, kedua mempelalai di didudukkan disinggasana pelaminan.
Meski telah menjadi pengantin, setlah acara hajatan ini berakhir, kedua anak tersebut tentu tidak ditempatkan dalam satu kamar bersama. Disini tidak ada bulan madu, tidak ada malam pertama. Setelah itu, mereka dipulangkan ke rumah masing-masing untuk kemudian, ya seperti anak-anak umumnya, mereka bermain lain dengan anak-anak sebayanya. Tanpa beban, tanpa harus melakukan ritual lainnya.
Uniknya meski sang punya hajat harus mengeluarkan anggaran cukup besar, konon kisaram 75 – 150 jutaan itu, namun demikian secara berlanjut perayaan hajatan pengantin macam itu terus berlangsung dan sampai sekarang masih tetap berlangsung.
Selain itu, memang di pulau Poteran ada tradisi yang juga menjadi bagian dari proses hajatan perkawinan, yaitu tradisi tompangan (tumpangan), yaitu sejumlah pihak (sanak famili, kerabat tetangga, atau terundang) yang dengan sengaja menyerahkan tumpangan uang (atau bentuk barang: beras, sapi, gula dll) dengan nominal cukup besar, sehingga suatu saat bila yang menyerahkan tumpangan itu punya hajat tentu untuk si penerima tumpangan akan mengembalikan senilai yang diberikan.
Dan bahkan ini berlaku kepada siapa saja yang terundang apabila patolong (sumbangan)nya kecil, tentu nanti bila giliran kembaliannya akan kecil pula. Dan mungkin inilah penyebab lain, mengapa masyarakat Popteran terburu-buru melakukan hajatan besar-besaran sekedar untuk meramaikan “perkawinan” anak-anaknya, karena investasi yang dimiliki banyak berada di tangan orang luar.
Yang menarik, jutsru meski pernikahan anak masyarakat Poteran melalui proses perjodonan dini dari orang tua, umumnya mereka hidup langgeng setelah melaksanakan pernikahan sah ketika mereka beranjak dewasa