Warisan Budaya Madura Masa Lampau

IV

Pepatah abantal syahadat asapo’ iman (berbantal syahadat berselimut iman) melukiskan religiusitas orang Madura yang terkenal fanatik terhadap agamanya (Islam). Itu bisa dilihat pada umumnya dalam kelengkapan rumah tradisional Madura ada bangunan yang diletakkan di sebelah barat halaman dengan menghadap ke timur yang disebut langgar, sebagai tempat untuk mengerjakan shalat. Anak-anak sejak berumur 5 tahun sudah diserahkan kepada guru ngaji akau kiai untuk belajar agama. Pesantren-pesantren besar atau pun kecil selalu dijumpai di mana-mana, sampai ke pulau Kangean.

Dalam hal itu, kiai telah muncul sebagai pemandu nilai-nilai yang biasanya lebih dihargai masyarakat pedesaan dari pemimpin formal. Kiai bukan hanya sebagai pengajar agama, akan tetapi lebih dari itu ialah, sebagai konsultan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan.

Pada zaman penjajahan banyak kiai sengaja menjauhi kota dengan bermukim di pedesaan dan bahkan ada yang jauh di kaki gunung karena mereka umumnya enggan bekerjasama dengan pemerintah penjajah Belanda. Sehingga tidak mustahil kalau saat itu banyak kiai yang mengharamkan dasi, celana dan membayar pajak sebagai tanda tidak senang pada penjajah.

Ikatan orang Madura dengan agama sedemikian kuat, seorang Madura yang sehari-harinya tidak melaksanakan syariat agama, akan marah kalau disebut bukan orang Islam. Sikap mencintai agama seperti itu sebenarnya bisa menjadi modal untuk melangkah menuju pengamalan agama dari sumber aslinya sebagai manifestasi keyakinan kepada Tuhan. Dengan demikian, agama bukan hanya diterima sebagai warisan tradisi, tetapi benar-benar di tempatkan pada bagian yang paling vital dalam mewarnai kehiduppan.

V

“Pote mata pote tolang, ango’ poteya tolang” (putih mata putih tulang,lebih baik puti tulang) ialah pepatah yang maksudnya, dari pada hidup menanggung malu lebih baik mati. Ungkapan itu menyiratkan pentingnya menjaga harga diri bagi manusia Madura. Tetapi sering disalah artikan sehingga bisa memacu “carok”. Sebagian kecil orang Madura kalau istrinya diganggu laki-laki lain, atau salah seorang keluarga dekatnya dipermalukan orang sampai menurunkan martabat kekeluargaan, atau air yang mengenangi sawahnya diambil orang, akan menjadi masalah yang prinsip dengan melakukan carok.  Padahal kalau ungkapan itu diinterpretasikan secara intelektual berarti, lebih baik mati dibandingkan hidup tercemar malu dan tanpa kehormatan. Karena itu orang Madura yang mengerti moral akan berusaha menjaga kehormatan agar tidak berbuat yang memalukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.