Toron Tana (turun ke tanah) merupakan tradisi ritual bagi masyarakat Madura untuk menandakan bahwa seorang anak manusia mulai dibenarkan menyentuh tanah pertama kalinya sebagai proses perjalanan kehidupannya kelak.
Tradisi toron tana ini diberlakukan bagi bayi usia 7 bulan yang pada saat usia tersebut bayi mulai mengenal benda-benda yang dilihat dan disentuh (diambil) dihadapannya. Maka tak heran, tradisi ini ada sementara pihak keluarga menandai dengan cara besar-besaran dengan mendatang sejumlah anak sanak keluarga dan tentangga yang nantinya akan menjadi saksi bahwa bayi tersebut sudah tidak lagi mempunyai pantangan menyentuh atau menginjak tanah atau bumi.
Dalam prosesi toron tana, bayi akan menginjak bubur yang terbuat dari beras merah bercampur santan yang diyakini akan membuat sang bayi kuat dan kokoh menapaki kehidupan. Dan selanjutnya sang bayi dihadapkan sejumlah benda-benda, seperti sisir,fulpen,buku, kaca, bedak, dan benda-benda lainnya yang kerap digunakan sebagai kebutuhannya sehari-hari kelak.
Bila ternyata sang bayi merah sisir misalnya, diyakini kelak dia akan suka besolek dan selalu tampil dengan rapi. Demikian pula, bila dia meraih fulpen atau pensil, bayi tersebut diyakini akan pandai menulis. Alat atau benda tersebut merupakan simbol yang menunjukkan bahwa sejak usia dini tersebut, anak-anak sudah mulai mengenal apa yang ia harus ia lakukan kelak.
Namun demikian, pada hakikatnya dengan melakukan tradisi ritual toron tana ini sebagai bentuk harapan agar kelak anak bisa menjadi orang yang berguna. Sebelum acara digelar, bayi dimandikan terlebih dulu. Sedangkan tamu – tamu yang diundang dalam tradisi ini adalah anak – anak. Tokoh masyarakat dan biasanya guru ngaji yang pada saatnya nanti sang orang tua akan “menitipkan putra/putrinya” itu untuk berguru padanya. Sang guru tersebut membacakan doa-doa demikian keselamatan dan keberlangsungan hidup sang bayi.