Saat ini zaman telah memasuki era teknologi dengan segenap tantangan. Masyarakat Madura kini berada dipersimpangan jalan kebudayaan. Antara tradisi dan modernisasi tidak harus terjadi tabrakan yang mengakibatkan bagian penting dari tradisi yang baik turut hancur berantakan. Dalam hal ini perlu dicari jalan keluar dengan proses yang wajar sehingga hasilnya mempunyai manfaat besar.
Ketika memperingati 50 tahun “Polemik Kebudayaan” pada tanggal 18 – 20 Maret 1986 di Jakarta, banyak tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia yang masih mementingkan nilai-nilai tradisional positif untuk mewarnai dinamika masyarakat Indonesia moderen. Kita lihat Jepang menjadi gagah karena ke akar tradisinya dengan semangat “samurai”nya.
Menuju “Keindonesiaan” yang makin mantap dan matang serta tegar, yang didasari semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, masyarakat Madura sekarang harus ikut berproses. Di persimpangan jalan kebudayaan orang Madura kini sedang memasuki babakan transisi. Transisi dalam proses transpormasi budaya, meminta perhatian para pemangku kebudayaan dari semua sektor, baik budayawan birokrat, budayawan kampus dan budayawan yang berada di “angin” perlu saling dukung mendukung dengan kesatuan bahasa dan konsepsi. Itu pun harus didukung pula oleh seluruh warga masyarakat sendiri untuk bisa maju.
Soren Kierkagaard mengatakan bahwa, hidup manusia mempunyai tiga taraf, yaitu: estetis, etis dan religius. Dari sudud estetis manusia Madura masa lampau telah mengungkapkan dirinya dengan aneka ragam bentuk kesenian, sastra, musik, tari, ukir dan lain-lainnya dengan mutu yang baik. Dari sudut kehidupan etis, orang Madura selalu menjaga harga diri, giat bekerja, jujur, reseptif terhadap nilai-nilai positif dari luar, tegas dalam membela kebenaran, hormat kepada orang lain (andap asor) dan solidaritasnya tinggi. Sedangkan dari sudut religius, manusia Madura adalah pecinta agama. Ketiga aspek itu menunjukkan sikap hidup yang menuju kemuliaan.