Ritual Cahe, Upacara Adat Permohonan Berkah Hujan (1)

Saat pelaksanaan ritual Cahe

 Elfa Arizona, SPd.

Sejarah Singkat Nama Gua Kandhalia

Dahulu kala, menurut penuturan pewaris aktif Cahe. Ada dua orang saudara kakak-adik yang mengembara, beliau adalah Juk Kamoning dan Juk Marju. Ketika mereka beristirahat menemukan sebuah lubang yang besar pada  batu. Kemudian si kakak mengajak si adik untuk melakukan tirakat di dalam lubang batu itu. Si kakak mengajak si adik untuk mengadu kesaktian/kedigdayaan  yang dimiliki mereka. Kemudian si adik menuruti ajakan si kakak.

Setelah sekian lamanya berada di dalam lubang batu itu, sudah beberapa tahun lamanya. Kemudian si kakak mengajak si adik untuk keluar dari lubang batu itu. Sesampainya diluar, kemudian mereka ‘dha’-kandha’an’ (bercerita), makanya kemudian lubang batu itu di beri nama ‘GOA KANDHALIA’ karena berasal dari kata dha-kandha’an.

Singkat cerita, dua bersaudara itu mengadu kesaktian dengan ketentuan : sang kakak akan berjalan kearah selatan menuju laut diselatan dari tempat goa itu, dan sang adik berjalan kearah utara menuju laut diutara dari tempat yang sama pula. Disepanjang jalan yang akan mereka lewati masing-masing akan mengencangkan benang dan ilalang. Kemudian si kakak ke arah selatan menabur ilalang dan si adik ke arah utara mengencangkan benang. Sebelum berangkat mereka sama-sama berjanji dengan menggaris sebuah batu besar (yang sampai saat ini masih ada bekas goresan pedang).

Beberapa lama kemudian, si adik ternyata sudah sampai lebih dulu ke goa tersebut dengan selamat tanpa rintangan apapun. Namun si kakak mengalami nasib sial, karena sebelum sampai pada tujuan ternyata ilalang yang dikencangkan putus, kemudian oleh si kakak ‘etabhung’ (disambung) sehingga tempat tersebut diberi nama kampung Talabbhung (terletak di desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi), yang diambil dari kata tabhung. Setelah cukup lama mereka bercerita  di goa tersebut, kemudian si kakak mengajak adiknya masuk kembali ke dalam goa itu untuk melakukan tirakat lagi (semedi/bertapa).

Dalam goa Kandhalia juga terdapat bebatuan berbentuk seekor sapi, kaki sebelah kanan Rato Murbis (Raja Monyet), selain itu juga tempat persemedian nenek moyang/leluhur mereka yang terdiri dari tujuh orang, dan terdapat air dengan tujuh macam rasa yang berbeda. Ketujuh nama ‘Syaiful Karomah’ yang terdapat didalam goa Kandhalia adalah : (1) Agung Partapan; (2) Agung Kamoning; (3) Agung Wali Tanjung; (4) Rama Agung Parnyo’onan; (5) Pangeran Kaleran; (6) Raden Bagus Anom; dan (7) Raden Bagus Adil.

Sejarah Singkat Dilaksanakannya Upacara Adat Cahe

Ritual Cahe diadakan (asal-usul Cahe) berasal dari : niat pada zaman dahulu kala, menurut penuturan ketua adat yang bergelar Kalebun Cahe-Pak Ma’ahu menceritakan, bahwa niat tersebut disampaikan :

“Mayu’ Lek, sokkor eparenge salamed, engko’ ban ba’nasabala entar kan-ngakan ka gua. ngiba nase’, topa’, ban juko’,…Mayu’ pas pol-kompol ngakan e gua. Mayu’ pas agabay nye-nyanyean neng e gua a Cahhe mayu’ neng e gua” ajak sang kakak.

Cahhena apaan?

Sarton, Sannok, Karto’, Panghel, Nitim, Kalandhian, Ser-lengsenan

(“Ayo dik, asalkan diberi keselamatan, kita sekeluarga pergi makan-makan ke goa. Bawa nasi, ketupat, dan ikan/lauk-pauk …Ayo, terus kita berkumpul makan di goa. Ayo kita terus membuat lagu-lagu (nyanyian)di goa, ber-Cahhe di goa.”

“Apa saja Cahhenya?”

“Sarton, Sannok, Karto’, Panghel, Nitim, Kalandhian, Ser-Lengsenan”)

Jadi  kalau sekilas perhatikan asal usul yang kemudian dijadikan sebagai sejarah pelaksanaan ritual Cahe, yaitu dari ‘Niat’. Seperti yang sudah kita ketahui sendiri, masyarakat di Pulau Madura masih sangat menjunjung tinggi dan taat melaksanakan ajaran leluhurnya. Namun, karena sejarah Cahe itu tidak dibukukan melainkan secara lisan (dari mulut ke mulut) bisa saja ada beberapa bagian penggalan cerita yang tidak sama antara informan (dalam hal ini pihak pewaris aktif (active bearer) ahli waris keturuna generasi ketujuh) yang satu dengan informan lainnya tidak sama persis, terutama penyebutan nama penciptanya.

Sebenarnya, Cahe itu sama saja dengan dzikir. Hanya saja dzikir yang ini tidak untuk permohonan pada Tuhan. Karena dari ketujuh macam nyanyian itu tidak satu pun di dalamnya terdapat Asmaul HusnaNya. Kalau kita amati lebih detail lagi bait liriknya menyerupai ritual agama Hindu. Akan tetapi ritual ini masih sarat dengan keyakinan/keperyaan aliran Animisme – Dinamisme.

Para anggota ritual Cahe (yang terdiri dari dua belas orang dengan pangkat/gelar yang berbeda-beda) melakukan ritual ini dengan ‘alami’. Maksudnya disini, semua gerakan-gerakan yang ditampilkan sangat sedehana. Selain itu juga jenis pujian /doa/ Cahe disajikan secara alamiah pula. Hentakan suara nyanyian, intonasi, dan nada pemujaan dengan disertai alunan musik saronen. Meskipun sebenarnya mereka tidak tahu makna pada tiap-tiap nyanyian (pujian/doa/Cahe), namun mereka paham maksudnya. Karena tidak seorang pun diantara  peserta anggota Cahe yang bisa menerjemahkan satu persatu maupun perkalimat dari jenis pujian itu.

Seperti yang sudah dijelaskan diawal, bahwa di dalam goa Kandhalia terdapat air dengan tujuh macam rasa yang berbeda dan berkhasiat dapat mengobati segala jenis macam penyakit. Itu sebabnya banyak masyarakat yang datang untuk mengambil air itu sebagai obat.

Cahe, yang dalam penampilannya hanya dilakukan oleh dua belas orang dilakukan dengan membuat lingkaran, hanya Tampa Karsa yang berada diluar baris lingkaran, sedangkan Kalebun berada di dalam lingkaran peserta Cahe yang lain. Kenapa demikian? Disini juga kiranya perlu diceritakan/disinggung sedikit tentang pelakasanaan ritualnya meskipun akan dijelaskan pada bab lain, namun karena hal ini ada kaitannya dengan pokok pembahasan sejarah singkat dilaksanakan upacara adat Cahe, maka akan disinggung sedikit.

Tampa Karsa berada diluar garis lingkaran karena posisi dia sebagai ketua atau komandan ritual yang tugasnya hanya memberi perintah pada peserta yang lain, dan dia juga yang bertanggung jawab terhadap jalannya ritual.

Kalebun, pada saat semua peserta Cahe bergembira ria (mengalami Trance) sambil bernyanyi, hingga datanglah roh leluhur/nenek moyang yang merasuki tubuh Kalebun. Pada saat seperti ini Kalebun berdebat dengan Tampa Karsa,dalam perdebatan ini menceritakan tentang pelaksanan ritual yang sedang berlangsung maupun yang akan datang, sesajin tambahan dan cara mereka menghormati tamu.

Sedangkan sisanya yang berjumlah sepuluh orang membentuk lingkaran, mereka bernyanyi dengan di komando Tampa Karsa. Mereka bernyanyi sambil berputar mengelilingi Kalebun, yang ikut juga bernyanyi. Kadang-kadang sesekali mereka bernyanyi sambil berputar dan berpegangan tangan seolah-olah bermain layaknya anak kecil.

Oleh karena itu, ritual ini dinamakan Cahe yang memiliki makna bernyanyi dan bergembira ria, walaupun banyak perbedaan persepsi tentang ritual ini. Ada sebagian yang mengatakan bahwa nama sebenarnya bukan Cahe tapi rokat gua, mungkin karena pelaksanaannya di dalam goa maka mereka menyebutnya rokat goa (ruwatan gua). –

******

Tulisan bersambung

  1.  Ritual Cahe, Upacara Adat Permohonan Berkah Hujan (1)
  2. Ritual Cahe, Upacara Adat Permohonan Berkah Hujan (2)

  3. Ritual Cahe, Upacara Adat Permohonan Berkah Hujan (3)
  4. Ritual Cahe, Upacara Adat Permohonan Berkah Hujan (4)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.