Patriaki Perempuan Madura, Tradisi dan Gender

perempuan_madura_1
Penggambaran perempuan Madura dalam skat lingkungan keraton

Rizca Yunike Putri 1), Fajar Muharram2)

Perempuan Madura

perempuan_madura_1
Penggambaran perempuan Madura dalam skat lingkungan keraton

Masyarakat Madura merupakan masyarakat yang unik dengan kegiatan sosial, bahasa, ekonomi, tradisinya dan dikenal sebagai entitas yang lekat dan kental serta fanatik terhadap ajaran-ajaran keagamaan dalam kesehariannya. Bagi masyarakat ini, ajaran agama tidak hanya diterapkan dalam aspek religi dan ritual, namun juga sebagai ajaran perilaku, aktivitas sosial, budaya, ekonomi serta relasi sosial masyarakat. Pemahaman ini pun digunakan untuk mendudukkan bagaimana posisi Perempuan Madura yang seharusnya.

Wiyata dalam penelitian Tatik Hidayati (Hidayati 2009) menjelaskan masyarakat Madura memandang dan memposisikan perempuan sebagai bagian keluarga yang harus dilindungi, dipelihara, dan simbol perjuangan laki- laki untuk memupuk harga diri di depan masyarakat, sehingga perempuan ditempatkan pada ruang yang suci dan terpisah dari ranah laki-laki. Bagi mereka, pedidikan utama bagi perempuan adalah pendidikan yang berasaskan pada ajaran agama dan praktek-praktek keagamaan yang lain. Lembaga pedidikan yang kuat bagi perempuan Madura dalam hasil penelitian ini diwakili oleh lembaga pondok pesatren. Pendidikan dengan lembaga pondok pesantren ini dimulai ketika perempuan memasuki usia pendidikan formal. Pendidikan bagi perempuan Madura adalah hal penting namun masih dalam lingkup yang relatif terbatas .

Perempuan Madura dalam hal keprofesian tidak lagi membatasi dirinya sebagai ibu rumah tangga. Mayoritas perempuan Madura berprofesi sebagai pedagang dengan skali perdagangan mikro seperti membuka took kelontong atau bahkan pedagang besar misalnya

sebagai agen distributor produk pertanian dan perikanan (Mulyadi 2011). Urutan kedua adalah sebagai pendidik dan ketiga sebagai operator medis di wilayahnya. Dan terakhir sebagai buruh migran atau TKW (Rahayu and Munir 2012). Walau pun masih sangat terbatas, keprofesian ini menunjukkan bahwa perempuan Madura sadar akan peran publik yang bisa dilakukan oleh mereka walau pun masih terbatas dan masih di bawah bimbingan laki-laki, peran publik di bidang profesi tersebut sudah menjadi kelaziman dan bukan lagi hal yang tabu.

Perempuan Madura dalam sistem sosial budaya yang patriarki memiliki mobilitas sosial dan etos kerja yang tinggi sehingga mereka dapat bertahan dan berkembang di daerah asal maupun di daerah tujuan migrasi (Sukesi, Wisaptiningsih, and Nurhadi 2008). Namun, kuatnya tradisi dari penerapan nilai-nilai kulturan yang masih fokus pada budaya patriarki cenderung menempatkan posisi perempuan Madura tidak setara bahkan cenderung di bawah laki-laki (baik suami maupun saudara laki-laki).

Dalam hal politik, sebelum penetapan kuota 30% bagi caleg perempuan, perempuan Madura memegang peranan penting dalam kekuasaan budaya dan penerapan nilai-nilai religi yang disimbolkan dengan status Nyai (Hidayati 2009). Status ini tentu saja tidaklah melalui penunjukan atau pendelegasian, namun melalui proses perkawinan. Setelah ditetapkannya kuota 30% bagi caleg perempuan, perkembangan peran perempuan Madura di bidang politik tidak lagi pada peran Nyai namun bertambah menjadi peran legislatif. Walaupun kenyataanya yang terjadi di Sumenep pada tahun 2014, dari 202 caleg perempuan hanya 3 orang yang terpilih sebagai anggota legislaif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.