Madura Barat Masa Pra-Islam     

 

Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd

Wilayah barat Pulau Madura adalah tempat di mana peradaban pulau ini lahir. Kisah tentang Raden ra serta Keraton Nepa maupun terpisahnya Jawa dan Madura memberi gambaran bahwa pulau ini telah dihuni sejak lama. Peradaban yang tercatat dengan baik biasanya sering kali terjadi dalam sebuah satuan politik yang maju. Madura dan, orang-orangnya tercatat dengan baik dalam sumber-sumber Singasari-Majapahit seperti yang disebutkan sebelumnya. Meskipun hanya tentang bantuan-bantuan orang Madura dan peran elite keturunan Jawa seperti Arya Wiraraja dan Rangga Lawe.

Tampaknya setelah Madura masuk dalam kekuasaan Singasari, Madura barat tidak begitu menarik bagi penguasa Jawa untuk dijadikan pusat pemerintahan bawahan di pulau ini. Tampaknya wilayah barat Madura yang lebih awal mengenal peradaban cenderung dianggap lebih memiliki kemampuan untuk merintangi kuasa dan pengaruh kerajaan Jawa yang ekspansionis seperti Singasari. Inilah latar yang menjadikan Arya Wiraraja dijauhkan/dimutasikan ke Madura Wetan sebagai Adipati Sungennep.

Jauh sebelum masa itu terjadi, di Madura Barat justru ditemukan beberapa peninggalan dalam periode Pra-Islam. Salah satu bentuk peninggalan itu adalah Sangkala Candra, yaitu representasi visual yang berbunyi hukum empat kata yang masing masing menghasilkan angka, atau makna tunggal secara penanggalan Saka. Jumlah Sangkala Candra Pra-Islam di Madura Barat tepatnya Kabupaten Sampang terdapat tiga buah yaitu (Ma’arif, 2015: 79-80):

1) Candra Sangkala

Ditemukan di Situs Sumur Daksan di Desa Dalpenang. Berdasarkan angka 757 Saka atau 835 M yang menandakan adanya komunitas kaum Buddha yang dipimpin oleh Resi.

2) Candra Kedua Sangkala

Ditemukan di situs Bujuk’ Nandi, di Desa Kamoning Kabupaten Sampang, yang terbaca sebagai 1361 Saka atau 1379 M. Situs itu menyebutkan adanya sebuah komunitas yang dipimpin oleh seorang resi bernama Durga Shiva Mahesa Sura Mardhini. Nandi adalah banteng atau sapi sebagai vahana/tunggangan Dewa Siwa.

3) Candra Ketiga Sangkala

Ditemukan di Situs Pangeran Bangsacara di Desa Polagan, menandakan tahun 1383 M ketika pembangunan sebuah kuil Buddha dengan relief yang menceritakan kisah seorang pangeran bernama Bangsacara, berisi pesan moral, dan ajaran agama. Kita dapat menyimpulkan keberadan masyarakat Shaiva (Inggris: Shaivite) atau umat Hindu sekte Siwa dan pemeluk Buddha di Kabupaten Sampang antara 1379 dan 1383.

Situs Sumur Daksan adalah cagar budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan pariwisata budaya dan sebagai kawasan strategis untuk kepentingan sosial budaya masyarakat.¹6 Situs Bhuju’ Nandi memberikan arti bahwa dalam komunitas masyarakat yang disebutkan dalam Candra Sengkala erat dengan peradaban sungai Desa Kamoning.

Untuk situs Bangsacara, Pulau Mandangin lebih dikenal dengan kisah cinta legendaris tentang Bangsacara, seorang pemuda yang berhasil menyembuhkan penyakit istri Raja Bidarba bernama Ragapadmi dari penyakit kulit mengerikan, Bangsacara setelahnya menikahi Ragapadmi.

Keduanya (Bangsasacara dan Ragapatmi) dibunuh oleh suruhan Raja Bidarba bernama Bangsapati karena ingin merebut kembali Ragapatmi yang telah sembuh dan kembali cantik. Kelurahan Polagan sebagai tempat penemuan Candra Ketiga Sangkala merupakan lokasi Pelabuhan Tanglok, satu-satunya pelabuhan menuju Pulau Mandangin.

Menurut Mien Ahmad Rifa’i (2007: 64), cerita Bangsacara dan Ragapatmi telah dimodifikasi secara tertulis dan lalu dibuat bernapaskan Islam sehigga penuh dengan anakronisme dan kejanggalan. Untuk itu, ketiga Candra Sangkala lebih dapat digolongkan sebagai peninggalan Madura Pra-Islam.

Tentang keberadaan komunitas dua agama di Madura Barat itu bisa memastikan pengaruh Majapahit pada abad ke 14 yang begitu kental mewarnai aspek religi masyarakat di sana. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa sebelum berdirinya Majapahit, Rangga Lawe putra Arya Wiraraja adalah seorang tokoh yang tinggal di Tunjung, Madura Barat (Revolta, 2008: 58).

Sejak masa Raden Wijaya diangkatlah dua pejabat tinggi untuk urusan agama resmi masyarakat Majapahit yakni (jabatan) “Dharmadyaksa ring Kasaiwan” yang bertanggung jawab terhadap hal yang berkaitan dengan agama Hindu-Shaiva (Hindu Siwa) dan “Dharmadyaksa ring Kasogatan” yang berkaitan dengan agama Buddha (Tim, 2001: 48). Madura Barat sempat “ditinggalkan” sehingga Sumenep di Madura Timur menjadi lebih maju. Namun, Madura Barat tidaklah “tenggelam” karena penemuan ketiga Candra Sangkala itu telah menunjukkan dinamika masyarakat.

Baru pada masa pemerintahan Raja Majapahit Bhre Kertabhumi yang memerintah sejak 1468, Madura Barat kembali ditempatkan dalam posisi yang penting dan setara dengan Sumenep yakni saat penguasa Majapahit turut memperhitungkan kawasan ini sebagai sebuah vassal yang dipimpin seorang Raja Muda (Viceroy) bergelar “Kametowa”.

Ini bukan saja menandakan Madura Barat yang kembali diperhatikan, tetapi ternyata zaman baru telah menyingsing dengan kedatangan sebuah kepercayaan baru-agama Islam di tengah kalangan akar rumput Madura.

__________________________________________

Disalin dan diangkat dari buku “Sejarah Tanah-Orang Madura”,  Masa Awal Kedatangan Islam Hingga Invasi Mataram; penulis: Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, penerbit Leotikaprio 2018, hal. 79-83

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.