Pangeran Madura itu Raden Trunajaya (1)
Putera sekaligus pewaris tahtanya, Susuhunan Amangkurat I – lakon nukilan kita – cuma brutal, tanpa mewarisi kreativitas dan sukses ayahnya. Kalau Sultan Agung menaklukkan, mengancam, membujuk dan melakukan manuver politik guna mencapai ambisinya, Amangkurat I cuma bisa menuntut dan membunuh. Ia tak hirau pada keseimbangan politik, yang diperlukan untuk memimpin negeri penuh intrik seperti Mataram pada masa itu. Amangkurat I memusatkan kekuasaan hanya untuk meladeni kepentingan sendiri. Akibatnya, bermunculan barisan sakit hati di kalangan para pendukung kerajaan: para bangsawan istana, pembesar negara, bangsawan di daerah taklukan, dan ulama.
Di antara sejumlah bangsawan muda yang tinggal di Keraton Mataram di Plered, tersebutlah pangeran asal Madura bernama Raden Trunajaya. Ketika Sultan Agung menaklukkan pulau garam itu pada tahun 1624, ia membawa serta Adipati Sampang, satu-satunya penguasa setempat yang masih hidup ke Mataram dan menganugerahinya gelar kebangsawanan, Cakraningrat I (1624 – 1647). Kemudian, Sultan Agung mengirimnya kembali ke Madura sebagai penguasa daerah taklukan.
Putera Cakraningrat I, Raden Demang Melayakusuma, semestinya menggantikan penguasa Madura. Namun, pada 1656, Melayakusuma terbunuh di istananya, bersama ibu, dua saudara lelaki dan tiga orang abdinya. Tak jelas apa sebab pembunuhan itu. Yang tersisa hidup, cuma bocah berumur 7 tahun, putera Melayakusuma yang bernama Raden Trunajaya. Penguasaan atas Madura Barat lantas dipegang oleh adik Melayakusuma, yang bergelar Cakraningrat II (1680-1707).
Trunajaya tak lama tinggal di Keraton Plered. Pada suatu waktu, ia kabur dari keraton yang penuh dengan intrik itu untuk menyelamatkan nyawanya. Ia lari ke Kajoran, wilayah kekuasaan Raden Kajoran atau Panembahan Rama. Keluaraga Kajoran ini punya pengaruh besar. Mereka keluarga ulama terkemuka dan punya hubungan perkawinan dengan Keraton Mataram. Trunajaya menikah dengan salah seorang puteri Panembahan Rama.
Dibawah layak dibaca