Mendambakan Sumenep Berbudaya Luhur

Pemerintah sebagai pemegang kebijakan jangan terlalu lebih berorientasi fisik, sehingga membuat para pengelola lembaga pendidikan selalu berpikir dana. Maka penyimpangan terjadi dari hulu hingga hilir. Pendidikan telah beralih fungsi menjadi pengelola proyek. Di situ pula muncul manipulasi-manipulasi hingga korupsi. Ketika semua itu telah terbiasa maka ia akan dianggap benar. Bahkan yang menentangnya karena menilai tidak benar justru akan disalahkan.

Di sisi lain, banyak pemimpin yang malah memberikan contoh prilaku tak terpuji, bahkan dengan bangganya. Lebih dari itu, mereka mengajarkannya kepada bawahan perilaku tak terhormat secara cerdas sehingga bisa kelihatan gagah di balik kebusukannya.

Rupanya, perilaku begini sangat mudah menyebar ke berbagai lembaga, termasuk lembaga pendidikan, menyebar ke tengah masyarakat yang tak jarang melalui para tokoh agamanya.

Orang-orang yang tak ikut andil dalam berbagai bentuk prilaku tak terpuji itu malah bingung karena kehilangan standar keluhuran. Mereka yang tidak cukup cerdas, dan mereka sangat banyak, malah kebingungan karena benar dan salah, baik dan buruk, terpuji dan tercela sudah berbaur tidak jelas bahkan terbolak-balik.

Saya sering mendengar keluhan orang kampung yang lugu karena melihat tokoh panutan yang selama ini menjadi patokan kehormatan melakukan hal-hal yang selama ini dilarangnya. Dia tak habis pikir karena pengelola lembaga pendidikan menggunakan dana pendidikan untuk kepentingan pribadi.

Setelah mereka tanya, itu sudah biasa dan memang diajarkan oleh atasan. Kebingungan dan rasa putus asa membuat mereka berkesimpulan semua pengelola lembaga pendidikan sudah sama bejatnya. Tak perlu lagi bicara moral, mari kita rayakan kebejatan ini, kita lakukan bersama sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Dengan itu, mereka tidak akan lagi peduli dengan nilai-nilai, mereka juga tak peduli dengan pesan-pesan moral dari siapapun. Karena semua sama bejatnya, hanya beda cara melakukannya. Pembicaraan tentang kehormatan, kebaikan, integratas dan sejenisnya hanya seremonial, formalitas, aksesoris dan pura-pura.

Ketika melihat fenomena seperti ini, saya yang biasanya seorang optimis dengan segala keterbatasan, sering jadi pesimis dengan keadaan. Untuk guru-guru saya mengajarkan, apapun alasannya putus asa itu tidak benar, karena berarti membatasi kemahakuasaan Allah. Itu pula rupanya yang masih menghidupkan api idealisme segelintir orang di Sumenep ini untuk terus berusaha untuk membangun budaya luhur Sumenep.

Barangkali ini yang masih tersisa untuk terus menghidupkan harapan saya. Masih ada orang-orang dengan integritas tinggi yang masih punya idealisme tentang kehidupan berbudaya luhur, kehidupan berbangsa yang berbasis pembangunan jiwa.

Apa yang harus dilakukan? Jangan menunggu pemerintah dalam hal apapun. Punya atau tidak, kita percaya mereka, tapi kita belajar memaklumi bahwa mereka punya keterbatasan. Membangun masyarakat itu harus dimulai dari masyarakat, jangan menunggu siapapun.

Orang-orang yang masih punya idealisme dan integritas ini harus bersatu dan dipersatukan oleh visi yang sama tentang pembangunan yang berorientasi jiwa. Ini aset terpenting Sumenep, lucu kalau orang Sumenep sendiri mengabaikannya.

Kesatuan visi itu perlu diikat oleh kesatuan rencana dan aksi bersama untuk membangun kesadasaran masyarakat tentang pembangunan jiwa, melalui berbagai cara: baik verbal, persuasif, tradisi, seni, hingga kehidupan sehari-hari. Orang-orang ini yang dibiarkan tenggelam dalam hiruk-pikuk kebejatan yang menyamar keluhuran.

Mendambakan Sumenep berbudaya luhur adalah merancang pembangunan berbasis jiwa untuk membentuk pikiran dan tindakan terhormat. Itu dilakukan dengan penyatuan visi dan aksi orang-orang yang masih punya idealisme dalam kehidupan, bukan orang-orang yang hanya berpikir pragmatis, apalagi egois.

Merekalah yang harus kita rawat dan kita dorong untuk terus maju memimpin perlawan atas kebanggaan terhadap fisik hingga prilaku tak berbudaya. Orang-orang ini harus dicari, dijaga, dilindungi dan didorong untuk tampil mewujudkan idealismenya.

Karena umumnya mereka tidak ambisius prestise dan popularitas sehingga tidak jarang mereka tidak mau tampil ke permukaan dan memimpin “perang” secara terbuka. Jika masih mendambakan Sumenep berbudaya, merekalah kuncinya. Mereka adalah sisa harapan. Sekecil apapun aksi mereka, nilainya teramat besar bagi kehidupan berbudaya kita. (sebelumnya: Mendambakan Sumenep Berbudaya)

*)Penulis lepas dan Dekan Fakultas Ushuluddin INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.