Membumikan Kembali Tradisi Barzanji

Membaca fenomena tersebut, akankah seni tradisi Islam (kalau boleh saya sebut seperti itu) berupa karya sastra Islam semisal bezanji yang syarat dengan pesan-pesan untuk mempertebal keyakinan ummat Islam tentang posisi junjungan Nabi Muhammad dengan segala kelebihannya akan tertinggal jauh dari ummat (Islam) nya sendiri. Padahal bila dicermati, ungkapan-ungkapan yang dilantunkan jauh melampui batas imaji para penyair kita, dan bahkan sentuhannya melampaui batas peradaban dari masa ke masa.
Ada sinyalemen di kalangan masyarakat, bahwa membaca atau menyampaikan puji-pujian terhadap kebesaran Nabi merupakan ibadah, apalagi disampaikan dengan khusuk dan masyuk. Kenyataan ini seharusnya menjadi takaran bahwa sebenarnya proses kehidupan akan selalu bergantung pada realitas. Dan barzanji adalah realitas yang berdimensi religius.

Bila ditarik benang merah, sentuhan religiusitas masyarakat yang dalam lingkup ummat Islam, barzanji seharusnya sedemikian menyatu dalam semangat keislaman. Atau dengan kata lain, barzanji telah menemukan jati diri di tengah kerimbunan budaya masyarakat sebagaimana kedudukannya untuk mengantar ummat ke dalam suatu keyakinan penuh. Persoalannya sekarang, sejauh mana akses barzanji terefleksi terhadap kemungkinan perubahan (peningkatan) mental spiritual terhadap penikmatnya.

Adalah sebuah realitas yang memprihatinkan bahwa banyak karya seni (sebut: seni sastra) yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat, yang kemudian disebut seni lokal, pada akhirnya mundur dengan teratur dan bahkan mati sekarat. Padahal seni-seni lokal semacam itu memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Atau sebut saja seperti macapat, syi’ir, atau dalam tradisi mainan anak-anak seperti folklore dan sebagainya, sebenarnya kandungan-kandungan dalam karya sastra tersebut, memiliki multi dimensi ajaran.

Namun karena alasan-alasan klasik yang mengatas-namakan perkembangan budaya, seni tradisi semacam itu pada akhirnya kehilangan tempat tinggal, dan bahkan makin dijauhi oleh masyarakatnya. Sebuah ironi, ketika budaya masyarakat telah kehilangan arah dan tujuannya, kitapun dalam ketidakberdayaan. Dan tentu kita berharap barzanji tidak akan mengalami nasib yang sama, seperti kehidupan “saudar kembarnya”, sastra lokal.

Paling tidak, terdapat dua faktor yang menyebabkan mengapa hal itu terjadi, yaitu faktor yang berasal dari luar dirinya (faktor eksternal), dan yang berasal dari dalm dirinya (faktor internal). Gelombang perubahan yang melanda dunia mencuatkan produk-produk kesenian yang menghibur, mudah dicerna, gampang ditiru, enak dirasakan, disebarluaskan oleh media massa, dan didukung oleh modal besar, merupakan faktor eksternal penyebab ketersudutan seni lokal. Produk-produk kesenian global merampas selera sebagian besar masyarakat. Secara internal masyarakat pelaku dan penikmat sudah tidak merasa memiliki, tidak apresiatif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.