Selanjutnya Marlena menyalami satu persatu tamu-tamu yang sengaja menyambut tuan dan ibu lurahnya itu. Dengan pesta sederhana yang dihadiri para perangkat kelurahan dan beberapa tokoh dan warga sekitarnya, ternyata membawa pengaruh besar terhadap perkembangan hati Marlena. Seakan hatinya disambut oleh seribu harapan yang berbaris dari semua sudut desa ini, sehingga tanpa diduga, semangat Marlena yang terpendam dalam dada kini terasa menyesakkan dan ingin dimuntahkan begitu saja. Yah, semangat untuk menyebar luaskan suatu pemahaman dan pengertian bagi warga-warganya.
“Kau harus dapat beradaptasi dengan suasana desa ini,” ujar Taufik setelah acara penyambutan berakhir.
“Itu telah kurancang.”
“Dan kau akan memasuki babak baru dalam kehidupanmu”.
“Itu pun aku telah siap.”
“Dan sebagai istri Lurah, kau adalah orang terpenting bagi kaum wanita di sini.”
“Ini bagianku,” batin Marlena dalam isyarat angguk kepada suaminya.
Babak baru bagi kehidupan Marlena mulai terasa sekali dalam kesehariannya. Pertama yang ia lakukan, menyusuri celah-celah desa, dan mengenali watak-watak penduduk desa itu serta membaca suasana yang kemungkinan menjadi skala prioritas kerjanya kelak. Sebagai orang yang telah banyak makan garam tentang permasalahan wanita, Marlena telah siap dengan rancangan-rancangan untuk membina kehidupan wanita di wilayahnya.
“Di mana-mana kehidupan wanita di desa sama,” batin Marlena setelah mengetahui banyak wanita di desanya.
Begitulah pertama-tama Marlena menganalisis kenyataan-kenyataan yang dihadapi warganya. Seakan dirinya merasa sudah saatnya mengamalkan ilmu-ilmunya selama didapat di bangku kuliah. Kalau waktu itu, Marlena banyak menjabarkan teori-teori semata, justru tantangannya kini harus mempertanggungjawabkan teori-teori itu dalam praktek yang sebenarnya.
“Ini satu bukti, orang yang pandai berteori akan dituntut kenyataan di lapanga,” tantang Taufik.
Yah, kini Marlena makin dituntut oleh kenyataan di lapangan, sejauh mana wawasan yang direngkuh dapat terealisir di lapangan. “Akan kubuktikan,” desak Marlena.
Waktu demi waktu, Marlena mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan. Sehingga hari-harinya tak pernah didiamkan begitu saja. Sebagai istri lurah sekaligus sebagi ibu ketua PKK. Marlena ternyata mampu memimpin warganya untuk diarahkan menjadi wanita yang lebih berani. Meski demikian, kadang-kadang masih timbul pikiran aneh. Ia hampir tidak percaya bila akhirnya Marlena terkabul cita-cita pamannya itu. Hal ini berkat keterbukaan hati Taufik, yang telah menerima kembali kepingan hatinya yang hampir musnah oleh siasat jaman. Dan cita-citanya kini telah menjadi kenyataan.
“Terima kasih Tuhan. Engkau telah mempertemukan kami dalam satu harapan yang sama,” ungkap Marlena setiap kali melaksanakan kewajiban sholatnya.
Yah, ternyata Taufik lebih dari segala-galanya. Taufik yang semula hanya sebongkah hati luka dari korban trauma rumah tangga, kini telah menjadi tumpuan harapan bagi penduduk desanya. Ia sebelumnya tidak menduga, bila perjalanan mantan kekasihnya itu, berlatar belakang jiwa luhur akan masa depan warga dan negaranya. Seorang pria yang telah mengorbankan semangat mudanya dalam satu kancah politik dan budaya bangsa, sehingga ia mampu merengkuh kemenangan batin baik kepada dirinya sendiri maupun kepada Marlena.
Pada awalnya Taufik tidak bermaksud melanjutkan panggilan hidupnya di tanah rantau. Hal ini mengingat cita-cita yang diembannya runtuh oleh kenyataan lain. Ketika Taufik berkasak-kusuk mengolah ilmu di kampus Universitas Jember, namun setelah mengalami kendala yang menyangkut biaya meneruskan kuliah tidak memungkinkan lagi di tangannya. Ini lantaran biaya kuliah tersebut hanya mengandalkan kemampuan dirinya yang saat itu merangkap bekerja sebagai pekerja musiman. Dan pada suatu ketika, sesaat ia baru menyelesaikan tiga semester, ia tidak mampu lagi meneruskan cita-citanya. Cita-cita untuk merebut keberhasilan di dunia politik. Dan apalagi cita-cita cintanya, harus gugur tatkala Marlena memutuskan hubungan dengannya. Saat itulah, Taufik frustasi dan tidak yakin bila dirinya mampu bertahan dalam hidup yang tak menentu. Maka dengan bermodalkan tekad dan semangatnya, lalu Taufik hengkang meninggalkan trauma hatinya meninggalkan tanah Jawa. Nasib mujur ternyata mengarungi kehidupan Taufik. Dengan bermodalkan ijasah SMA, melalui tangan salah seorang familinya di Banjarmasin, Taufik berkesempatan bekerja di Kantor Pemerintahan Daerah. Meski ia puas dengan nasib mujurnya itu, namun rasa dendam untuk meraih cita-cita yang tertunda itu. Taufik coba merambah nasib di salah satu perguruan tinggi di tempat barunya. Dan ternyata berhasil.
Keberhasilan usaha tugasnya itu, sesuai dengan surat perintah bupati setempat. Taufik dipercayai mengemban tugas di salah satu desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Meski demikian, tugas itu tidak pernah ditampiknya, bahkan dalam suasana desa itu, Taufik lebih meyakini diri bahwa sebenarnya di tempat inilah satu-satunya lahan yang memuaskan batinnya.
Namun apa yang terjadi. Kepuasan batin itu ternyata tidak pernah sempurna. Ia seakan berjalan di suatu tempat yang tidak diterangi oleh celoteh rumah tangga. Ia sebenarnya telah berusaha mencari teman hidup pendamping rasa sepinya. Namun semua usaha itu selalu kandas. Sesaat ia terkenang kembali pada masa yang terlalui. Untuk itu akhirnya Taufik enggan dan tidak yakin, bila dirinya harus memaksakan diri mencari pendamping lainnya.
Namun saat-saat kemudian, ketika ia dilambungkan oleh rasa sepi dan rindu. Saat itu pula, ketika Taufik sedang menghibur di kota, tiba-tiba ia berjumpa salah seorang teman sesekolahnya dulu.
“Taufik,” sapa salah seorang setengah berteriak.
Taufik menoleh. “Kau, Duran, kan?” balas Taufik di sela heran dan kaget. Lalu keduanya berangkulan melepas rindu.
“Kau kok di sini? Bagimana kuliahmu?” tanya temannya itu dalam heran.
Lalu Taufik menceritakan segalanya dari awal hingga ia menjabat lurah di salah satu wilayah Kalimantan Selatan itu.
“Wah, kalau begitu, kau jadi orang penting dong,” puji Duran yang sebenarnya bernama Abdul Rahim.
“Lalu tujuanmu ke mari?”
“Biasa, meneruskan warisan orangtua.”
“Saudagar , kalau begitu.”
“Kecil-kecilan, asal cukup untuk makan.”
“Makan orang sekampung,” gurau Taufik.
Mereka berdua tertawa lepas.
“Eh, apa kau tidak mendengar tentang Marlena?”, kata Duran tiba-tiba. Mendengar sebutan Marlena, tiba-tiba hati Taufik bergetar keras, seakan diguncnag oleh nasib yang menderanya.
“Yah, Marlena,” batin Taufik.
Taufik menggeleng.
“Lalu kelanjutan hubungan kalian?”
“Putus.”
“Yah, kami berjalan di atas nasib masing-masing.”
“Kasihan dia.”
Taufik terjengah.
“Maksudmu?”
“Nasib buruk telah menimpanya.”
Taufik terkejut. Heran.
“Apa yang terjadi pada dia?” desak Taufik penasaran.
Dengan lancar dan gamblang, Duran merinci peristiwa-peristiwa yang dialami Marlena. Taufik hampir tidak percaya bila mantan kekasihnya itu masih juga dikerubungi oleh permasalahan-permasalahan hidup. “Kasihan dia,” seru hati Taufik.
“Lalu bagaimana keadaannya sekarang?”
“Ia sekarang menetap di kota Sumenep bersama kakak angkatnya.”
Saat itulah rasa dendam, rindu dan kasihan berkecamuk di hati Taufik, hingga pikirannya selalu melambung membuai kenangan-kenangan manis yang sempat ia rengkuh bersamanya. Memang sesaat pertama ketika Taufik terperosok dalam penantian dan rindu, tiba-tiba dikejutkan oleh sepucuk surat Marlena yang menyatakan berakhirnya hubungan mereka. Dan saat itulah Taufik timbul rasa dendam membara. Dendam yang mengakibatkan ia terjerembab ke jurang trauma, dan mengantarkan dirinya di suatu tempat jauh. Jauh dari angannya.
Tapi setelah Taufik mendengar berita dan kenyataan yang dibebani mantan kekasihnya itu, tiba-tiba jiwa Taufik terpanggil untuk mengangkat kembali sebuah hati yang hampir tenggelam di dasar lautan. Untuk itu Taufik memberanikan diri dan mengkaji kembali permasalahan-permasalahan hidupnya selama ini, lalu menyurati Marlena dengan hati dan lapang dada. (*)