Marlena; Hilangnya Sebutir Mutiara

Hingga larut malam, Marlena masih juga belum kembali. Bahkan di tempat ziarah orang tuanya, di Kampung Lebak, kata penduduk sekitar sana hanya sebentar kemudian kembali lagi.

“Pak, bagaimana ini Pak,” seru Bu Rasmi dalam tangis sedih.

“Sabarlah Bu, aku telah lapor polisi,” jawab Pak Toha singkat menenangkan keresahan hati istrinya.

Dan di rumah itu, telah berkumpul Fatimah dan suaminya, sementara usaha Narti dan Jamil juga tidak berhasil. “Mungkinkah, ia pergi bersama Taufik?”,duga Narti makin khawatir.

“Tidak mungkin Nar, aku kira keduanya tidak ada tanda-tanda berbuat seperti itu, “ sahut Pak Jamil.

“Iya, ya. Dan lagi Taufik kan telah kemarin pulang ke Banyuwangi?” komentar Narti.

“Lalu kemana perginya?” keluh Narti sedih.

“Entahlah, besok kita cari lagi. Sekarang kau pulanglah dulu,” ujar Pak Jamil, lalu meninggalkan tunangannya setelah diantar sampai ke rumah Narti.

Di rumah Pak Toha, suasana khawatir dan takut semakin melarut. Sedang kesedihan Bu Rasmi semakin menjadi-jadi. Bahkan ia khawatir bila ucapannya tempo hari menusuk perasaan anak angkatnya. Namun ia yakin, bahwa ucapan-ucapan yang terlontar dari mulutnya, tidak akan mengandung arti jelek bagi Marlena.

“Mungkinkah, ia merasa khawatir tidak mampu membalas budi?” seru Bu Rasmi. “Tidak, tidak, aku tidak berniat minta balas budi. Siapapun dia adalah anakku,” tangkis hatinya sendiri.

“Coba reka-reka, mungkin di antara kalian terlontar ucapan-ucapan yang menyinggung perasaan Marlena,” kata Pak Toha di antara istrinya, Darwis dan Fatimah. Ketiganya saling berpandangan, namun ketiganya juga menyatakan tidak pernah melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati Marlena.

“Kemarin ke rumah. Tapi ia hanya cerita kalau ayah merestui untuk melanjutkan sekolah di Surabaya,” jawab Fatimah yang didukung oleh suaminya.

“Justru untuk itu, aku juga mendukungnya,” sambung Bu Rasmi.

“Coba kira-kira, mungkin ada yang tahu membaca pengalaman-pengalaman aneh Marlena selama berada di sini,” usul Darwis.

“Aku kira tidak ada yang aneh. Kalaupun terjadi, ia kadang termenung sendiri. Setelah aku tanya, ia selalu menjawab, ingat masa lalunya di kampung,” sahut Pak Toha mengingat-ingat.

“Mungkin, mungkin bersama ….. Taufik?,” duga Bu Rasmi juga.

“Tidak mungkin Bu. Ia bilang, kemarin Taufik pulang ke Banyuwangi setelah pengumuman pelulusan,” jelas Fatimah.

Suasanan hening, masing-masing menanam pikiran masing-masing. Fatimah orang yang paling dekat dengan adik angkatnya itu, ia coba memeras ingatannya yang mungkin dapat memberi petunjuk kepergian Marlena. Sebagai orang yang sempat menimba pengalaman pendidikan di bidang hukum, Fatimah mencoba menganalisa praduga-praduga yang mengacu pada sikap dan insiden-insiden yang sempat ia tangkap dari keluhan-keluhan adik angkatnya itu.

“Kamil”. Kata itu terlontar dari mulutnya secara tiba-tiba. Mendengar nama itu, yang lain timbul tanda tanya.

“Apa katamu Timah?” tanya Bu Rasmi.

“Kamil Bu. Ini pasti perbuatan Kamil,” jelas Fatimah.

“Siapa Kamil itu?” tanya Darwis.

“Bekas suami Marlena,” sahut Pak Toha kemudian menjelaskan awal mula kehidupan Marlena kepada anak menantunya.

“Tapi apa hubungannya dengan kepergian Marlena? Mereka kan telah berpisah, dan Marlena tidak mungkin berbuat untuk kembali padanya,” kata Darwis belum yakin.

“Marlena pernah cerita, kalau ia suatu ketika pernah bertemu dengan Kamil. Dan saat itu, katanya Kamil berkehendak kembali pada Marlena. Dan Marlena tentu menolaknya, bahkan Kamil menuntut haknya sebagai suami yang tanpa diakhiri dengan perceraian,” jelas Fatimah.

“Toh itu telah berlangsung beberapa tahun. Itu tidak mungkin Kamil menuntutnya tetap sebagai suaminya,” sela Darwis.

“Itu menurut pemikiran kita. Tapi bagi dia yang dibesarkan dalam suasana kehidupan keras, ia tidak akan peduli. Bahkan katanya, ia pernah mengancam bila Marlena menolaknya.”

“Jadi kesimpulannya, masalah ini berkaitan erat dengan perbuatan Kamil,” simpul Pak Toha. “Baiklah, besok aku lapor ke polisi, dan kalian berdua mencoba mencari tahu di mana kira-kira Kamil berada ke Kampung Lebak.

“Baik yah,” sahut Fatimah dan suaminya. Setuju

“Nah, sekarang kita istirahat dulu. Malam telah larut,” harap Pak Toha, lalu mereka berempat meninggalkan tempat duduk masing-masing.

Namun ternyata usaha Pak Toha menganjurkan untuk istirahat tak semudah apa yang diucapkan. Pikiran dan kekhawatiran masih melingkar di benak masing-masing. Rasa takut akan terjadi sesuatu hal yang mengerikan, tergambar jelas di pelupuk mata penghuni rumah itu.

Gambaran-gambaran jelek dan sadis seakan tampak jelas di hadapan mereka. Apalagi Pak Toha, yang banyak tahu membaca peristiwa-peristiwa kejahatan yang terjadi dari koran yang dicanya setiap hari, semakin menguatkan dugaannya bila Marlena akan terjadi hal-hal yang mengerikan. Demikian juga yang terjadi pada diri Bu Rasmi.

Tekanan darah tinggi yang memang kerap menemani, kini terasa semakin memuncak, seakan ia tidak mampu berpikir lebih jauh. Meski demikian, ia coba menenangkan diri melalui sholat malam, seraya bermohon kepada Yang Maha Kuasa, agar anaknya dilindungi dari perbuatan jahat.

Melihat istrinya turun melakukan sholat malam, hati Pak Toha ikut tergerak. Lalu keduanya sama-sama memanjatkan do’a sepuas-puasnya, sehingga akhirnya kepasrahan dan kesabaran mendapat cobaan itu teraih dalam suasana lapang dada.

“Ya Allah Tuhan yang Nur-Nya berada dalam rahasia-Nya dan rahasia-Nya berada dalam makhluknya. Lindungilah anak kami dari intaian orang hasut dan orang dlalim seperti Engkau melindungi ruh manusia dalam tubuhnya. Aamiin.”

Demikian pula yang terjadi pada diri Fatimah dan suaminya. Keduanya tidak mampu membayangkan, apa yang bakal terjadi pada diri adik angkatnya. Yang terasa hanya bayangan kabut mulai menutupi pandangannya, sehingga nampak jelas bila lelehan kecil mulai melekat di kedua belah bibirnya.

“Sudahlah, kita do’akan saja semoga Marlena selamat dari ancaman kejahatan,” hibur suaminya.

“Kasihan Marlena. Sejak lahir ia terlalu banyak cobaan-cobaan yang dihadapinya. Aku tidak menyangka, bila dalam suasana seperti ini ia masih harus mendapat cobaan lagi. Padahal sesaat lagi ia harus siap mental menghadapi ujian di perguruan tinggi,” ujar Fatimah dalam isaknya.

“Itulah cobaan manusia dik. Kita ini sebenarnya sedang diuji, sejauh mana kesabaran dan kesadaran kita sebagai makhluk yang lemah.”

“Yah, ujian yang harus kita jalani.” Fatimah pasrah hingga akhirnya tanpa terasa lelap tertidur dalam lelah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.