Bahkan tidak jarang yang mengadakan peringatan di rantau dengan mengundang kyai mereka. Seperti menurut pengakuan Sol dan Atho’, setiap tahun diundang ke Pontianak Kalimantan selama kurang lebih satu bulan, antara lain dalam rangkaian acara Maulud yang diadakan oleh mantan santrinya yang merantau ke daerah tersebut.
Adapun rangakaian acara peringatan Maulud di Madura secara umum polanya sama, sebagaimana yang pernah diikuti peneliti 11 Februari 2012 di Kelurahan Dalpenang Sampang, yakni diawali dengan pembacaan surat al Fatihah, dilanjutkan dengan pembacaan syarofal anam (shalawat), dan baru ditutup dengan doa, tanpa mau’idah hasanah. Setelah itu acara ramah-tamah, makan bersama, dan baru berakhir para undangan pulang dengan membawa berkat yang telah disiapkan oleh shahibul bait (tuan rumah).
Menurut Ilyas (purnawirawan polisi-Sumenep), kualitas hidangan (konsumsi) dan jumlah yang diundang mencerminkan kemampuan ekonomi tuan rumah, sekaligus merupakan gengsi dan harga diri mereka selaku orang Madura yang sukses di rantau orang. Karena itu, pada umumnya, pada bulan Maulud, orang Madura pedesaan yang di rantau menyempatkan diri mudik (toron) hanya untuk acara selamatan Maulud. Bagi mereka mengadakan acara Maulud seakan-akan wajib syar’i, bahkan kalau perlu berhutang, jika sekiranya perdagangan lagi sepi demi gengsi di mata masyarakat, kata Ilyas melanjutkan.
Sebagai ekspresi kecintaannya kepada nabi, acara Maulud dianggap sebagai momen haul Rasulullah yang harus diperhatikan. Bahkan oleh sebagian mereka, menurut Humaidi, untuk memperoleh syafaat atau penebus dosa kelak di akhirat.