Berbagai bentuk kesenian adalah aset kekayaan budaya lokal yang akan mampu melindungi anak bangsa dari berbagai hantaman budaya global. Pengaruh budaya global memang saat ini demikian gencamya, mengalir dari berbagai pintu media massa, sehingga menyebabkan generasi muda kehilangan jati dirinya. Kekayaan seni budaya yang dimiliki oleh suku bangsa di Indonesia lambat laun akan punah, hal itu disebabkan oleh ketidakacuhan dari berbagai unsur, baik pihak pe merintah daerah, instansi pemerintah, tokoh formal maupun informal, masyarakat ataupun kaum generasi muda. Namun yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini, apakah budaya itu pantas atau sesuai dengan ajaran agama Islam…!?? Jika tidak sesuai, maka budaya itu tidaklah wajib dilestarikan.
Keempat, seni pertunjukan berupa kerapan sapi dan topeng dalang. Perlombaan memacu sapi pertama kali diperkenalkan pada abad ke 15 (1561 M) pada masa pemerintahan Pangeran Katandur di keraton Sumenep. Permainan dan perlombaan ini tidak jauh dari kaitannya dengan kegiatan seha ri-hari para petani, dalam arti permainan ini mem berikan motivasi kepada kewajiban petani terha dap sawah ladangnya dan disamping itu agar peta ni meningkatkan produksi temak sapinya.
Namun, perlombaan kerapan sapi kini tidak seperti dulu lagi dan telah disalahgunakan sehingga lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Ma salahnya banyak di antara para pemain dan penon ton yang melupakan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT, yakni mereka tidak lagi mendirikan sha lat (Lupa Tuhan, ingat sapi). Kerapan sapi memang telah menjadi identitas, trade mark dan simbol keperkasaan dan kekayaan aset kebudayaan Madura.
Di sektor pariwisata, kerapan sapi mempakan pemasok utama Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD), karena dari sektor ini para wisata wan mancanegara maupun domestik datang ke Madura untuk menyaksikan kerapan sapi. Namun sangat disayangkan karena yang terjadi saat ini, para wisatawan mancanegara maupun domestik sudah tidak lagi mau datang untuk menonton per lombaan kerapan sapi, hal ini disebabkan karena mereka melihat adanya penyiksaan terhadap bina tang dengan memberikan sesuatu benda tajam dan lainnya kepada sapi, agar sapinya berlari lebih kencang dan menjadi pemenang. Selain itu, tidak sedikit dari penonton yang menjadikan perlombaan kerapan sapi sebagai arena pertaruhan judi. Maka pantaskah budaya ini terus dilestarikan lagi, jika begini jadinya..??