Pada dasarnya, todus lebih merupakan suatu ungkapan keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu, karena adanya berbagai kendala yang bersifat sosial budaya. Misalnya, menurut adaptasi kebiasaan yang berlaku di Madura, seorang menantu ketika sedang berbicara dengan mertuanya tidak boleh menatap wajahnya secara langsung. Setiap menantu akan merasa todus untuk berbicara kepada mertuanya dengan cara seperti itu. Jika kemudian menantu itu tidak disengaja melanggar adat kebiasaan ini maka dia akan merasa todus kepada lingkungan sosialnya, dan akan disebut sebagai orang ta’tao todus (tidak tahu malu) atau janggal (tidak mengerti etika kesopanan).
Dengan demikian, todus muncul dari dalam diri seseorang sebagai akibat dari tindakan dirinya sendiri yang menyimpang dari aturanaturan normatif. Sebaliknya, malo muncul sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya. Orang Madura yang diperlakukan seperti itu sama artinya dengan dilecehkannya harga dirinya. Mereka kemudian akan selalu melakukan tindakan perlawanan sebagai upaya untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan itu. Tindakan perlawanan tersebut cenderung sangat keras (dalam bentuk ekstrim adalah pembunuhan). Suatu ungkapan yang berbunyi ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik mati daripada harus menanggung perasaan malo) memberi indikasi sangat kuat tentang hal itu.
Tindakan mengganggu istri orang atau perselingkuhan merupakan bentuk pelecehan harga diri paling menyakitkan bagi lakilaki Madura. Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk menebusnya kecuali membunuh orang yang mengganggunya. Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa yang mengganggu istri saya, oleh karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan manifestasi dari martabat dan kehormatan suami saya, oleh dari martabat dan kehomatan suami, karena istri adalah bhantalla pate (landasan kematian)(A. Latief, 2002).
Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai aghaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa. Dalam kehidupan sosial di antara hakhak dan kewajiban itu, boleh jadi hakhak dan kewajiban masyarakat, misalnya dalam konteks Carok, perlindungan terhadap perempuan (istri), menjadi bagian dari kewajiban masyarakat, sehingga tindakan mengganggu kehormatan mereka selalu dimaknai sebagai tindakan arosak atoran (merusak tatanan sosial).
Tindakan mengganggu kehormatan istri, selain dianggap tindakan yang melecehkan harga diri suaminya, juga dianggap merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, menurut pandangan orang Madura, pelakunya tidak bisa diampuni dan harus dibunuh. Jika terjadi permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada dua alternatif yang akan dilakukan oleh seorang suami.
Pertama, alternatif ini sudah merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditawar lagi (membunuh lakilaki yang telah mengganggu itu). Kedua, membunuh duaduanya, yaitu lakilaki yang dianggap telah mengganggu sekaligus dengan istrinya.
Tulisan bersambung:
- Memahami Tradisi Carok Pada Masyarakat Madura
- Carok Sebagai Ekspresi Identitas Etnis Madura
- Pelaku Carok Tergolong Sebagai Jago
Alternatif pertama biasanya diambil jika suami menyadari bahwa tindakan lakilaki pengganggu istrinya sudah diyakini terjalin hubungan cinta maka alternatif kedua yang akan dipilihnya. Lebihlebih jika suami mengetahui atau menyaksikan sendiri secara langsung adanya persetubuhan antara keduanya(Harry,2008).
Orang Madura yang malo karena dilecehkan harga dirinya kemudian melakukan Carok disebut sebagai pelaku Carok. Akan tetapi, ketika Carok benarbenar terjadi, yang dimaksud dengan pelaku Carok adalah kedua belah pihak, baik pihak yang merasa harga dirinya dilecehkan (yang menyerang) maupun pihak yang dianggap melakukan pelecehan itu (yang diserang).