Secara keseluruhan, orang yang melakukan ke-cangkolang -an diyakini akan celaka dan tidak bahagia lahir atau batin atau kedua-duanya sebagai bentuk hukuman atas kejahatan moralnya. Ini searah dengan pengertian bala’ (dari Bahasa Arab) sebagai hukuman yang bergeser dari makna aslinya yaitu ujian .
Sebaliknya, orang yang menghindari cangkolang dengan menghormati atau mengabdikan diri kepada guru (ngabdi ) diyakini akan mendapat barokah . Barakah dipahami sebagai kebaikan dan keselamatan yang bisa diperoleh di dunia atau di akhirat. Setidaknya ia akan diakui integritas moralnya.
Berbagai keuntungan yang diperoleh dalam kehidupannya diyakini berkat penghormatan dan pengabdiannya pada guru, yang dalam hal ini kiai . Barakah juga bisa berupa ilmu yang diperoleh tanpa belajar atau lebih dari yang dipelajari. Karena itu, pengabdian kepada guru menjadi salah satu cara belajar dalam pengertian cara lain untuk memperoleh ilmu.
Bagaimana seorang guru atau kiai bisa memeberi tola dan basto dengan cangkolang dan memberi barakah dengan ta’dzim dan ngabdi ? Semua itu tak lepas dari hirarki moralitas dan tatanan kosmis dalam pandangan orang Madura. Dalam hirarki moralitas, guru adalah salah satu poros moral selain orang tua dan raja.
Itu tercermin dari saloka (pitutur orang bijak) terkenal buppa’ babu’ guru rato (ayah ibu guru raja). Semuanya adalah poros moral yang harus dihormati dan memang menjadi rujukan prilaku luhur. Kaum priyai, raja, berposisi sejajar dengan guru dan nabi yang sama-sama mengemban ilmu dan agama dari Tuhan.
Dari mereka kebaikan dan kebijaksanaan serta ilmu diperoleh. Mereka adalah orang suci dan mulia sehingga harus dihormati. Cangkolang dan ngabdi yang terkait dengan tola-basto dan barakah adalah konsep-konsep etis yang terkait dengan posisi poros-poros moral tersebut. Mereka juga menjadi standar moralitas sehingga menjadi contoh sekaligus menjadi standar moralitas orang lain dengan melihat sikap dan prilaku orang terhadap mereka.