Lebih dari itu, priyai-raja (parjaji-rato) dan kiai-nabi adalah “titisan Tuhan”. Mereka semua adalah orang-orang pilihan Tuhan yang mengemban amanat untuk menyebarkan ajaran sekaligus penyelamat dunia. Dengan demikian, selain selain posisi etis, mereka juga menempati posisi magis dalam struktur kosmis.
Mereka dapat menentukan selamat dan celakanya seseorang karena memang merupakan ‘tangan’ Tuhan, sebagaimana juga terlihat dalam gelar para sultan dalam Islam: khalifatullah (wakil/pengganti Allah) dhillullah fi al- ardh (bayang-bayang Allah di bumi) dan lainnya.11 Ini yang memperlihatkan bahwa pandangan tentang cangkolang bukan sekedar konsep etis un sich, tapi konsep magis yang tidak bisa dilepaskan dengan pandangan kosmis.
Artinya, ia merupakan konsep etis yang bernuansa magis. Secara sederhana, cangkolang kepada guru berarti salah pada agama. Salah kepada agama berarti salah kepada Tuhan. Begitu juga cangkolang kepada kaum priyai. Karena kedua posisi itu sejajar, sama-sama merupakan ‘tangan’ Tuhan.
Bagaimanapun cangkolang pada mulanya adalah konsep etis yang dinilai cocok dan terkait dengan sistem keyakinan sehingga dapat menjadi doktrin yang diajarkan turun-temurun dan mewarnai praktik pendidikan baik formal atau non formal dan informal. Efektivitas keberlakuannya didukung kuat oleh ritualisasi penghormatan guru/kiai dalam bentuk cabis (sowan) baik karena untuk kepentingan tertentu atau sekedar bertamu.12 Pada momen-momen tertentu, seperti 15 (nishfu)-Sya’ban, masyarakat berbondong-bondong menyalaminya untuk minta maaf atas segala ke-cangkolang-an.
Untuk para guru yang telah meninggal dilakukan ziarah ke makamnya atau dengan mengadakan haul, bahkan muncul istilah haul akbar. Selain ritualisasi, stereotype bahwa guru/kiai adalah orang luhur berikut orang-orang yang secara genetis berhubungan dengannya turut memperkuat efektivitas cangkolang. Secara keseluruhan, keluarga guru/kiai adalah orang baik dan harus dihormati. Selain diwujudkan dalam prilaku dan tutur kata sesuai ondhege besa (tingkatan bahasa), juga diwujudkan dalam sebutan atau panggilan tertentu yang mencerminkan penghormatan seperti kiae, lora, nyai, ma’kae, ke toan, nyi toan dan sejenisnya, sebagaimana sebutan kehormatan kepada para priyai, kaum aristokrat dan raja.
Semuanya bekerja sama mendukung konsep etis cangkolang menjadi doktrin dalam sistem keyakinan. Karena menjelma doktrin dalam lingkaran sistem keyakian, cangkolang cenderung disederhanakan dan diterima begitu saja (taken for granted) dengan tidak kritis dan rasional, bahkan dibela secara emosional dan fanatik. Dengan pergeseran dari konsep etis ke sistem keyakinan dalam bentuk doktrin, muncul generalisasi sebagai akibat dari simplifikasi atas pengertiannya.