Keberhasilan yang diciptakan atas usaha Sayyid Abdul Manan terdengar ke seantero kawasan Desa Pangbatok, bahkan seluruh daerah Proppo. Abdul Manan membuktikan sebentuk perjuangan positif dalam membina sekumpulan manusia di tengah masyarakat yang kompleks. Maksud dari kompleksitas itu adalah dengan adanya sekumpulan orang yang baru memeluk Islam dan butuh pembinaan secara batin, rohani, serta fisik, yang mana mereka itu hidup di tengah masyarakat sekitarnya yang belum menerima keislaman.
Selain itu, kemungkinan yang ada ialah masyarakat non-Islam ini bisa saja tertarik untuk belajar tentang kepercayaan baru tersebut ataupun justru malah mereka dapat menolaknya. Namun demikian, hampir seluruh rakyat jelata yang telah memeluk Islam maupun yang belum, keduanya hidup di tengah rasa takut akan kuasa para bromocora. Hingga kemudian, ada seorang petinggi dari sebuah desa bernama Kobasanah yang mendengar tentang kehebatan dari Sayyid Abdul Manan. Sang petinggi desa pun mulai tertarik dengan kesalehannya.
Setiap hari petinggi desa itu selalu menyimak informasi tentang perjuangan Sayyid Abdul Manan dalam menetapkan kesalehan dan kearifan penduduk sekitarnya kepada Allah Swt. Pada sebuah kesempatan bertemu petinggi Kobasanah, Abdul Manan menerangkan bagaimana cara agar seseorang dapat masuk ke dalam agama Islam, ia turut menjelaskan arti dari dua kalimat Syahadat dalam bahasa Madura: “Anyaksene badhan kaula tada’ pangeran se e sembha angeng Allah, ban anyaksene badhan kaula jha’ Nabbhi Muhammad paneka otosan Allah….” (Sadik, 2006: 70).
Petinggi Desa Kobasanah akhirnya memeluk Islam berikut istri dan seluruh rakyatnya. Keputusan dari pemimpin desa itu diikuti dengan keinginan agar Sang Buyut Kosambi -Abdul Manan bersedia menjadi menantunya serta dapat menggantikannya dalam memimpin desa dan kemudian membimbing masyarakat ke jalan yang lurus. Abdul Manan kemudian melakukan istikharah lalu menerima pinangan itu. Sesuai dengan tata cara Islam, Sayyid Abdul Manan melamar anak gadis bernama Maisurah, putri dari petinggi desa yang kelak dipanggil sebagai Kyae/ Ki Kobasanah.
Dari perkawinannya itu, Sayyid Abdul Manan dikaruniai empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan, masing-masing bernama; 1) Bhuju’ Abdurrahman Batsaniah (Bhuju’ Tompeng), 2) Bhuju’ Abdul Faqih, 3) Bhuju’ Abbas, dan 4) Siti Fatimah (Fauzi, 2013: 28). Sebagai tambahan, nama istri Sayyid Abdul Manan dalam sumber lain sebagaimana disebutkan oleh Sulaiman Sadik (2006: 71), bernama ‘Muani’, nama ini lebih menunjukkan corak pra-Islam, terlihat bahwa nama Maisurah diberikan setelah anak petinggi Desa Kobasanah tersebut memeluk Islam.mDi zaman modern, Kobasanah adalah sebuah kampung dalam satuan administratif Desa Pangbatok.
Tulisan bersambung:
_____________________________________
Tulisan ini dinukil dari buku “Sejarah Tanah Orang Madura”, Penulis Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd dan Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, Penerbit Leutika, Januari 2018, halaman 89 – 96