Puisi mainan anak-anak di Madura pada umumnya berupa nyanyian dan sulit dimengerti maknanya. Kesulitan tersebut adalah karena unsur bunyi yang agak dominan, atau karena kata-katanya banyak yang berubah oleh perjalanan waktu, atau juga memang pengarangnya yang sengaja menampilkan loncatan-loncatan imaji yang sedemikian jauh, kiranya suatu saat perlu diadakan studi khusus. Meskipun agak sulit dimengerti, namun terasa benar bahwa puisi-puisi anak-anak tersebut menyuguhkan dimensi keindahan yang lain.
Syair-syair anak-anak ini selain hanya sekedar dilagukan ada juga yang digunakan sebagai iringan bagi anak-anak yang baru belajar bertepuk tangan dengan lagu pa’-kopa’ Eling, dan berayun-ayun iringan syairnya jan-anjin. Selain itu masih ada lagi Cong-koncong Konce, Teng-nyalateng, Ma-dalima Ngodha, Ri-ri Kolek, dan lain-lain. Sekarang, syair permainan anak-anak ini sudah jarang ditemukan. Sejak tahun 70-an hampir tak ada yang menyanyikan lagu-lagu ini.
Puisi-puisi ritual yang digunakan untuk memohon hujan, selamatan laut, menolak bala, dan kepentingan lainnya, terdapat di desa-desa terpencil atau di tepi pantai. Jenis puisi ini digunakan dalam upacara pantil, cahhe’, ratep,dan pojiyan.
Ada 10 orang sejak tahun 1995 berlatih “musik mulut” yang dikembangkan dari pojiyan itu. Di tengah irama musik mulut itu dibacakan sebuah puisi. Ketika puisi dibacakan, suara musik mulut mulai melemah. Karena antara puisi dengan musik mulut itu punya latar belakang warna local yang sama, maka iringan musik mulut itu sangat menunjang kehadiran puisi.
Musik Mulut hasil revitalisasi itu pernah pentas di Taman Budaya Surakarta, di Universitas Ahmad Dahlan, mengikuti Asambel Musik Internasional di gedung Purna Budaya, Yogyakarta, dan di gedung BPPT, Jakarta, dan lain-lain.
Apabila diperhatikan secara seksama, tradisi lisan Madura sebagian telah mengalami kepunahan dan kemunduran. Sedangkan yang masih hidup saat ini agaknya sulit untuk bertahan. Penyebabnya antara lain karena terdesak oleh kebudayaan moderen. Kegiatan mendongeng, misalnya, terdesak oleh sinetron yang ditayangkan oleh media elektronik. Begitu anak berpendidikan moderen tidak suka potong gigi ketika hendak menikah, otomatis acara “mamapar” yang disemarakkan dengan tembang akan berkurang. Merosotnya warisan tradisi lisan itu berkaitan erat dengan pandangan hidup baru yang dipacu oleh gairah kehidupan moderen.
Sedangkan upaya revitalisasi yang disesuaikan dengan irama modernitas jarang dilakukan. Upaya revitalisasi, sebaiknya dikaitkan dengan kebutuhan zaman dan upaya itu membutuhkan kerja keras. Kita bisa melihat, sukses dari Emha Ainun Nadjib dalam menghidupkan kembali beberapa lagu-lagu Jawa, contoh seperti syi’ir “Tombo Ati”, “Ilir-ilir”, “Sluku-sluku Bathok”, dan lain-lain.
Dengan demikian, menghidupkan warisan tradisi lisan Madura harus ada upaya memberi nafas baru agar penampilannya terasa segar, sehingga penampilannya tidak sekadar menjadi kenangan dan nostalgia. Lebih dari itu penyajiannya benar-benar menyuarakan irama zaman.