Menginat di pulau Madura banyak terdapat pesantren, maka tidak mustahil kalau pernah tumbuh subur sastra pesantren. Sastra pesantren ialah sastra keagamaan yang berpusat di pesantren. Karena pesantren merupakan tempat pendidikan agama, maka sangat besar andilnya dalam pengembangan karangan-karangan keagamaan yang bernilai sastra.
Di antara salah-satu bentuk sastra pesantren ialah syi’ir yang berasal dari salah-satu bentuk puisi Arab. Pada umumnya syi’ir itu ditulis oleh para santri zaman dahulu di luar waktu-waktu belajar. Ketika di pesantren belum adaa madrasah seperti sekarang, maka santri-santri yang bertempat tinggal atau mondok di kompleks kediaman kiai itu mempunyai banyak waktu terluang untuk menggubah syi’ir. Meskipun demikian para kiai banyak juga yang menulis syi’ir.
Biasanya syi’ir itu dilagukan dengan suara merdu dan dan penggemarnya banyak sekali di luar pesantren. Syi’ir itu mempunyai lagu-lagu yang bermacam-macam dan masing-masing pesantren ada yang mempunyai variasi sendiri-sendiri.
Bentuk syi’ir ini sama dengan syair dalam sastra Melayu, yang terdiri dari empat bait dengan pola rima a a a a.
Mengingat ada pengaruh Jawa pada kebudayaan Madura maka tembang, seperti yang terdapat dalam kesusastraan Jawa, juga ditemukan di Madura. Pupuh asmaradhana di Jawa, disebut kasmaran di Madura. Selanjutnya sinom disebut senom, kinanti disebut salanget, pangkur disebut pangkor, dan tembang pucung tetap disebut pucung. Guru lagu atau huruf vokal terakhir pada tiap-tiap larik pada tembang Madura persis sama ketentuannya dengan tembang Jawa. Demikian pula guru wilangan atau jumlah suku kata pada tiap-tiap larik persis sama.
Meskipun tembang Madura banyak ditulis orang, namun pada kenyataannya yang populer di kalangan masyarakat Madura sampai sekarang ialah tembang yang berbahasa Jawa. Upacara ruwatan atau rorokadan dengan ceritera tembang yang mengisahkan Pandawa dan Betarakala; upara mamapar atau potong gigi sekaligus mengantar penganten, dengan ceritera tembang Maljuna; selamatan kandungan atau peret kandhung dengan ceritera Yusuf; memperingati Isra’ dan mi’raj dengan ceritera Me’raj, dan lain-lain. Semua dengan tembang berbahasa Jawa kemudian diterjemahkan oleh penerjemah yang disebut tokang tegges yang mengalihbahasakan secara prosais ke dalam bahasa Madura.
Tembang-tembang berbahasa Jawa bukan hanya terdapat pada kalangan rakyat jelata di pedesaan. Di kalangan bangsawan tembang-tembang Jawa dulunya menjadi salah-satu kegemaran. Hal ini mungkin karena terdapat data karya pujangga keraton yang berbobot, sehingga orang-orang lebih memilih tembang berbahasa Jawa.
Upacara mamapar (potong gigi) ialah acara yang paling bergengsi dalam penampilan tembang berbahasa Jawa di Madura. Acara ini diadakan apabila ada pernikahan. Dari pihak penganten laki-laki mengirimkan sekawanan tukang tembang ke rumah pihak penganten perempuan. Di pihak penganten perempuan juga menyediakan tukang tembang lengkap dengan penerjemahnya (tokang tegges Madura).