Oleh: Sri Indriyana
Sumenep selain keindahan alamnya, juga memiliki perangkat budaya yang ragam. Dan beberapa diantaranya tetap masih dipertahankan dan di pelihara oleh masyarakatnya, dan sebagian lainnya ditinggalkan karena tidak sesuai lagi kondisi masyarakat yang berkembang. Diantara budaya dalam bentuk tradisi itu salah satunya adalah tradisi ter-ater yang masih tetap ada dan terjaga khususnya. Walaupun tradisi ini juga terdapat di kabupaten lainnya di pulau Madura dengan nama dan kemasan berbeda namun esensi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sama. Agar lebih spesifik, dalam tulisan ini mengambil tradisi ter-ater yang biasa dilakukan oleh masyarakat kecamatan Bluto, Sumenep.
Ter-ater dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai hantaran. Tradisi ini sering dilkukan masyarakat pada hari-hari tertentu, seperti pada hari raya keagamaan umat Islam, bulan istimewa Islam, atau pada momen tertentu saat seseorang memiliki hajatan semisal pernikahan, sunatan, aqiqah dan selamatan hari- hari kematian leluhur dan lainnya.
Sebenarnya jika di lihat dari tujuannya ter-ater dilakukan umumnya adalah sebagai bentuk pengamalan ajaran agama Islam yang senantiasa menganjurkan untuk selalu bersedekah baik untuk diri sendiri juga untuk keluarga atau leluhur yang telah meninggal dunia.
Bentuk ter-ater biasanya berupa makanan dengan menu khusus yang disesuaikan dengan waktu dan tujuan dari tuan rumah. Pada umumnya sajian ter-ater berupa masakan yang terdiri dari nase’ rasol yaitu nasi yang ditata di atas piring dengan bentuk parabola, beragam lauk- pauk dengan kuah daging bumbu kuning atau gule, kue-kue, secangkir kopi atau teh. Untuk ter-ater dengan tujuan khusus biasanya dilengkapi dengan kembang tujuh rupa yang di bungkus daun berbentuk contong dan di dalamnya selipkan uang sebagai lahummah (pelengkap sedekah). Semua itu ditata dalam satu nampan. Namun untuk beberapa momen tertentu, sajian ter-ater bisa di sajikan dalam bentuk yang berbeda.
Ter-ater ini biasanya diantarkan kepada keluarga dekat, tetangga, kiai atau keluarga yang dituakan, dan tokoh masyarakat dengan tujuan yang sesuai dengan jenis Ter-ater tersebut.
Ter-ater berdasarkan waktu pelaksanaannya bisa dijabarkan sebagai berikut :
Ter-ater Sora
Ter-ater ini dilakukan pada bulan Sora (Madura), Asyura atau Muharram (Bulan Islam). Khusus pada bulan ini,Ter-ater berupa tajhin sora (bubur Sora) yaitu bubur beras dengan kuah santan bumbu lodeh dan topping yang terdiri dari su’un, taburan sambhel sekkol (parutan kelapa sangrai), telur dadar, daging. Selain menu ini ada juga berupa nasi ketan dengan taburan sambhel sekkol dan telur dadar. Menu ini biasanya hanya di temui di bulan ini.
Ter-ater Sappar
Ter-ater ini dilakukan pada bulan Syafar atau Sappar (Madura). Pada bulan ini masyarakat melakukan ter-ater dengan menu tajhin Sappar yang terdiri dari bubur sumsum gurih dengan bubur candil yang di siram dengan kuah santan. Adapula yang membuat menu lain berupa dodol setengah jadi dengan siraman kuah santan atau dodol merah putih yang dipotong pipih memanjang.
Ter-ater Tellasan Topa’
Ter-ater ini biasanya dilakukan pada hari ketujuh setelah hari raya idul fitri. Ter-ater pada waktu ini terdiri dari menu dengan bahan dasar ketupat. Semua menu bisa dipastikan terdapat ketupat di dalamnya. Menunya bisa berupa soto ayam madura, ketupat lodeh atau bisa berupa nasi dengan lauk pauk tapi tetap terdapat ketupat yang menyertai.
Ter-ater Salekoran
Ter-ater di waktu ini ditujukan untuk menyambut sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan dan dilakukan tepat di hari ke dua puluh memasuki malam ke dua puluh satu (salekoran) di bulan Ramadhan. Menu khas yang menjadi ciri di waktu ini adalah kue serabi dengan kuah santan gula merah. Walaupun terdapat menu yang lain namun kue serabi ini bisa di pastikan akan terhidang di setiap hantaran.
Ter-ater Bấbhấkton
Bấbhấkton adalah waktu kematian dari seseorang yang meninggal dunia yang di mulai dari hari kesatu sampai ketujuh, empat puluh hari, seratus hari, setahun hingga seribu hari dari hari kematian dan haul dari keluarga yang meninggal. Disetiap hari bebekton keluarga dari orang yang meninggal akan melakukan Ter-ater dengan menu dari masakan yang dibuat pada waktu itu.
Ter-ater Rebbấ
Khusus pada ter-ater ini waktunya tidak di tentukan, artinya bisa dilakukan kapan saja. Namun meskipun begitu biasanya ter-ater ini sering dilakukan pada hari Senin sore atau Kamis sore dengan tujuan sebagai sedekah yang pahalanya dihadiahkan kepada keluarga yang sudah meninggal. Ter-ater ini juga dilakukan setiap keluarga melaksanakan hajatan baik pernikahan, sunatan atau setiap sebuah keluarga memasak menu istimewa di rumah atau memasak sesuatu yang menjadi kesukaan dari keluarga yang sudah meninggal di masa hidupnya.
Tradisi ini banyak dijumpai di daerah Sumenep terutama daerah pinggiran seperti di kecamtan Bluto yang wilayahnya masih berupa pedesaan. Tradisi ini biasanya dilakukan bersamaan, contohnya saat hari raya keagamaan Islam. Sehingga di jalan-jalan akan banyak terlihat para ibu dan remaja putri menjunjung nampan saling mengantarkan ter-ater ke rumah sanak saudara dan kiai atau guru ngaji. Menjadi catatan penting, meskipun tradisi ini dilakukan bersama-sama pantang bagi orang yang melakukannya untuk menukar ter-ater yang diantarkan oleh orang lain untuk kemudian diantarkan kembali kepada orang lain. Karena jika hal ini diketahui pelakunya akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat karena telah melakukan penghinaan. Karena ter-ater yang di berikan adalah bentuk penghargaan dari penghantar dan harus dinikmati dengan sukacita sebagai balasan penghormatan kepada penghantar.
Tradisi ini telah dilakukan secara turun-temurun dan banyak memberikan manfaat positif dalam menjaga keharmonisan sebuah hubungan dalam masyarakat umumnya dan hubungan keluarga pada khususnya. Melalui tradisi ini masing-masing keluarga akan semakin mengenal satu sama lain. Sehingga tali silaturrahmi akan tetap terjaga. Besar sekali harapan penulis untuk para generasi muda untuk menjaga dan merasa memiliki tradisi luhur yang di miliki walau teramat berat tantangan yang akan di hadapi di masa depan.
Pada masa dimana semua ingin dilakukan serba praktis dan ekonomis bahkan terkadang segalanya diukur dengan uang. Semua tinggal pesan dan tinggal menikmati tetapi semua tidak dapat menggantikan rasa. Bisa saja digantinya dengan bentuk lain yang lebih sesuai jaman. Namun tidak bisa dipungkiri kerinduan akan sebuah keharmonisan sebuah hubungan tidak bisa di tinggal begitua saja. Dan itu tak akan pernah tergantikan. Semoga kearifan warisan budaya nenek moyang kita akan tetap terjaga selamanya
(Tulisan ini terbit dalam buku “Telisik Kearifan Lokal Sumenep” – Rumah Literasi Sumenep)