Membaca sejarah Kabupaten Sumenep, sejak dinobatkannya Arya Wiraraja, sebagai Adipati pertama di Sumenep pada 31 Oktober 1269 M sampai tahun 1929, telah dipimpin 36 raja. Sedang pada pemerintah dibawah pimpinan Bupati sejak 1929 sampai sekarang (2013) telah dipimpin 16 Bupati. Lalu apa kontribusi mereka terhadap perkembangan Sumenep?
Banyak hal yang tersimpan dalam mengiringi perjalan warga Sumenep selama tujuh abad lebih. Keelokan tata bahasa dan ragam budaya yang dimiliki kabupaten paling ujung timur di Pulau Madura ini, tak henti-henti menarik perhatian para wisatawan nusantara maupun mancanegara untuk mengunjunginya.
Begitu pula, Sumenep memiliki banyak objek wisata. Salah satu objek wisata dia antaranya museum dan keraton. Keraton Sumenep terletak di tengah-tengah kota yang berdiri di atas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma alias Panembangan Somala, dibangun pada masa pemerintahan Panembahan Sumolo I tahun 1762. Bangunan keraton ini mempunyai corak budaya Islam, Cina, Eropa dan Jawa, dengan Arsiteknya adalah Liaw Piau Ngo dari China. Di dalam keraton terletak peninggalan-peninggalan bersejarah seperti Pendopo Agung, kantor Koneng, dan bekas Keraton Raden Ayu Tirta Negara yang saat ini dijadikan tempat penyimpanan benda-benda kuno.
Salah seorang pemerhati sejarah Sumenep, Tajul Arifin menilai, keberadaan keraton ini tidak hanya sebagai peninggalan kerajaan Sumenep namun masih eksis digunakan sebagai tempat pemerintahan. Seperti Pendapa Agung sampai saat ini masih dipakai sebagai tempat diadakannya acara-acara kabupaten seperti penyambutan tamu Negara, serah terima jabatan pemerintahan dan acara kenegaraan lainnya.
Sedangkan kantor Koneng yang berarti kantor raja dahulu adalah ruang kerja Sultan Abdurrachman Pakunataningrat I selama masa pemerintahannya tahun 1811 sampai 1844 Masehi. Selain ketiga ruangan tersebut di kompleks keraton terdapat Taman Sare, yaitu tempat pemandian putri raja yang masih terlihat asri dan indah sampai sekarang.
“Pada mulanya antara keraton dengan pendapa letaknya terpisah. Namun pada masa pemerintahan Sultan Abd. Rachman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu deret,” urainya.
Bagian lain dari keraton Sumenep adalah pintu gerbang Labang Mesem, yang artinya pintu/ gerbang tersenyum yang melambangkan keramahtamahan masyarakat Sumenep terhadap setiap orang yang datang ke keraton.Labang Mesem merupakan sebutan untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang berarti pintu, dan Mesem berarti senyum.
Dari sekian versi tentang asal usul nama Labang Mesem, akhirnya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem merupakan symbol. Perlambang atas sikap keramah-tamahan dan penuh senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam menerima tamu.
“Setidaknya ada tiga versi yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini bisa dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang menjaga orang dengan bentuk kecil, maka tak heran bila sering menghadirkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut,” tandasnya.
Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut merupakan tempat raja untuk mengawasi sekitar keraton. Juga mengawasi putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja tampak mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem.
Sedang versi yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun datang ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah sampai di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh persahabatan. Kabarnya, hal itu merupakan akibat terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.
Museum keraton Sumenep ini terdiri beberapa bangunan mulai dari bangunan induk keraton, taman sare, dan ladang museum. Disetiap ruangan terpajang berbagai benda yang menjadi saksi kekuasaan dan keberadaan Museum Keraton. Di museum ini Anda juga tersisa pemandian putri Keraton Sumenep.
“Bagian pertama museum ini yaitu yang terdapat di luar keraton merupakan tempat menyimpan kereta kencana kerajaan Sumenep dan kereta kuda pemberian ratu Inggris. Kereta kerajaan tersebut sampai sekarang masih dipergunakan saat upacara peringatan hari jadi kota Sumenep,” katanya.
Bagian kedua museum terdapat di dalam Keraton Sumenep. Dalam ruangan ini tersimpan alat-alat untuk upacara mitoni atau upacara tujuh bulan kehamilan keluarga raja. Ada juga senjata-senjata kuno berupa keris, clurit, pistol pedang, bahkan samurai dan baju besi. Beragam guci dan keramik dari Tiongkok menghiasi etalase museum seakan ingin menjelaskan eratnya jalinan hubungan antara kerajaan Sumenep dan kerajaan China.
Ada pula arca, baju kebesaran sultan dan putri Sumenep, serta kamar tidur raja Sumenep yang tidak boleh dimasuki oleh pengunjung. Tersimpan pula fosil ikan paus yang terdampar di Pantai Sumenep tahun 1977. Di museum ini Anda juga dapat juga melihat al-Qur’an yang ditulis oleh Sultan Abdurrachman.
Bahkan ada koleksi unik museum ini yaitu berupa piring ajaib yang dikenal dengan nama magic rower. Piring nasi tersebut diyakini memiliki kekuatan magis dimana nasi yang dihidangkan di atasnya tidak basi meskipun sudah satu minggu. Piring ini merupakan tempat nasi berbentuk oval dengan gambar Raja Sampang Condronegoro (1830) hadiah bagi raja Sumenep ke-32, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat (1811-1854).
Bagian ketiga berada di dalam keraton yang disebut Museum Bindara Saod karena dahulu merupakan tempat Bindara Saod menyepi (Rumah penyepian Bindara Saod). Ruangan ini terdiri lima bagian yaitu teras rumah, kamar depan bagian timur, kamar depan bagian barat, kamar belakang bagian timur dan bagian barat. Baik Museum, Museum Kantor Koneng dan Museum Bindara Saod, ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Keraton Sumenep sendiri dikenal dengan sebutan Potre Koneng (Putri Kuning). Julukan ini diberikan karena dahulu pernah hidup seorang permaisuri yaitu Ratu Ayu Tirto Negoro. Putri ini berasal dari China dan terkenal memiliki kulit kuning bersih. Untuk menghormati sang permaisuri maka atap Keraton Sumenep diberi warna kuning cerah.
Di dalam keraton terdapat Pendopo Agung, Kantor Koneng, dan bekas Keraton Raden Ayu Tirto Negoro yang saat ini dijadikan tempat penyimpanan benda-benda kuno. Pendopo Agung sampai saat ini masih dipakai sebagai tempat diadakannya acara-acara kabupaten seperti penyambutan tamu, serah terima jabatan pemerintahan, dan acara kenegaraan lainnya. Sedangkan Kantor Koneng atau kantor raja adalah ruang kerja Sultan Abdurrachman Pakunataningrat I selama masa pemerintahannya tahun 1811 sampai 1844 Masehi.
Sumenep sendiri kini menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Sumenep memiliki wilayah yang terdiri dari dataran dan 126 pulau meliputi 27 kecamatan.
Keraton Sumenep Adaptasi Nilai Modern
Meski bangunan museum keraton Sumenep memiliki nilai filosofi, namun seiring bergulirnya waktu dari tahun ke tahun, abad ke abad dan bergantinya para pemimpin, berdampak terhadap keberadaan bangunan keraton tersebut.
Menurut Tajul Arifin, kini bangunan keraton Sumenep banyak yang beralih fungsi. Seperti disebelah selatan Taman Sare berdiri pendapa atau paseban, berubah menjadi toko souvenir lalu diganti lagi menjadi rumah pintar.
“Lalu di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil dilengkapi perahu sebagai tempat bertamasya putera-puteri Adipati. Tapi kini Sagaran tersebut ditempati perumahan rakyat dan lapangan tennis,” katanya.
Selain itu, lanjut Tajul, di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat kereta kencana dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman. Taman di sebelah timur ditempati buaya putih dan taman sebelah barat merupakan tempat pemandian kuda. Kini, bagian belakang kamarrata didirikan Taman Kanak-Kanak dan sebelah selatannya didirikan gedung olahraga atau lapangan bulutangkis.
“Mungkin sudah menjadi kebutuhan untuk kelangsungan Pemerintahan Kabupaten Sumenep yang menyesuaikan dengan Tata Ruang Kota Wilayah (RTRW) sehingga harus dilakukan alih fungsi bangunan disekitar keraton tersebut,” tuturnya.
Ia menilai, pergeseran bangunan itu demi keindahan kota Sumenep. Akan tetapi alih fungsi bangunan keraton sebagian besar dilakukan di titik luarnya saja, dan untuk bangunan induk keraton sendiri masih berdiri sesuai fungsinya.
“Sekalipun banyak yang beralih fungsi dari bangunan keraton Sumenep, tapi nilai eksotik dan filosofi dari bangunan induk masih tetap terjaga. Bahkan, menyedot perhatian bagi wisatawan nusantara dan mancanegera untuk berkunjung ke Sumenep,” urainya.
Menurutnya, perubahan bangunan disekitar museum keraton Sumenep ini menunjukkan pembangunan berjalan dengan baik. Hanya saja, dirinya merasa takut dengan perubahan jaman akan semakin mengikis nilasi filosofi dari bangunan keraton Sumenep.
“Kita bisa lihat banyak bangunan yang diperbaiki namun tidak memperhatikan bentuk aslinya. Akhirnya mengurangi nilai eksotiknya. Tapi, bagaimanapun juga asalkan tidak merubah bentuk dan lokasi bangunan keraton Sumenep, dipastikan nama Sumenep untuk satu abad kedepan masih akan tetap dikenang dan dirindukan oleh masyarakat lokal maupun diluar karena terkenal dengan ramah serta murah senyum,” ungkapnya.[Nita/Info]