Sejarah Kehidupan Leluhur Orang Madura

Purbakala Suatu Bangsa di Sebuah Pulau
(2000 S.M.-0)

Anak nelayan mengangkut ikan dari tanggkan laut

Mien Ahmad Rifai

Makin banyak bukti yang terkumpulkan untuk menunjukkan bahwa penghuni Asia Tenggara berasal muasal dari Taiwan, yang mulai menyebar ke arah selatan belasan ribu tahun yang silam. Lambat laun terbentuklah pelbagai macam bangsa di kawasan tersebut, Kira-kira 4000 tahun yang lalu di daratan Asia Tenggara terjadi lagi perpindahan bangsa-bangsa secara besar-besaran. Perisúwa ini antara lain berawal mula bertambah majunya kerajaan-kerajaan Cina. Karena kepesatan perkembangan kebudayaan dan peradabannya, mereka makin meluaskan pengaruh kekuasaannya ke arah selatan.

Kawasan yang iangsung terkena dampaknya adalah wilayah Tibet (yang merupakan tanah leluhur bangsa Birma) dan daerah Yunnan (yang semula dihuni orang Thai dan Vietnam). Sebagai akibatnya bangsa bangsa Birma, Thai, dan Vietnam terpaksa menyingkir lebih ke selatan.

Pada gilirannya perpindahan mereka lalu mendesak cikal bakal bangsa-bangsa Proto-Melayu yang ketika itu bermukim di wilayah Birma, Thailand, dan Indocina. Tekanan ini menyebabkan kelompok bangsa-bangsa tersebut menjadi tercerai-berai. Sebagian dari mereka pindah ke daerah pegunungan, dan sebagian lagi menyingkir ke arah pantai. Banyak juga di antara meneka yang tenus ke selatan, dengan mengarungi laut atau melewati semenanjung lalu menyeberangi selat, sampai akhirnya mencapai pulau-pulau di nusantara.

Perpindahan melintasi lautan itu tidak berlangsung sekaligus. Mereka berangkat secara bergelombang sekelompok demi sekelompok selama rentang waktu sekitat 2000 tahun. Karena tidak bersamaan meninggalk tanah asalnya, kelompok-kelompok tadi tiba di tempat yang berlainan pula di nusantata. Walaupun pada mulanya mereka serumpun bangsa dan bahasanya, lama kelamaan permisahan geografi menyebabkan terjadinya perbedaan yang rnakin membesar. Pembauran dengan kelompok-kelompok berbeda yang datang belakangan (rumpun bangsa Deutro-Melayu) ternyata Iebih menanamkan corak perbedaan karena pemencilan ini. Sesudah beberapa abad berlalu, terjadilah suku-suku bangsa berbhinika ragam seperti tersaksikan sekarang di kepulauan Indonesia.

Sekalipun demikian masih terlihat adanya persamaan mendasar di antara mereka. Misalnya, terdapat keserupaan yang tinggi dalam warna kulit, raut muka, perawakan badan, serta bentuk dan sifat fisik tubuh lainnya. Mereka juga memiliki kesamaan dalam kesukaannya pada produk laut yang dikeringkan (ikan kering), diasinkan (ikan asin), serta makanan yang dibusukkan atau ditapaikan (terasi, tape).

Semuanya juga ternyata sama-sama senang mengadu ayam, selanjutnya cara mereka menamakan benda-benda umum di sekelilingnya (seperti padi, pandan, ubi, udang, hujan, batu), atau dalam sistem menyebut nama seseorang berdasarkan nama anak sulungnya, tidaklah berbeda.

Kesamaan mendasar pun dapat dijumpai pada penggunaan kata bantu (ekor, batang, lembat, buah) dalam menghitung sesuatu. Semua tanda-tanda ini menunjukkan bahwa sebagian besar orang-orang nusantara nemang berasal dari sebuah rumpun bangsa yang sama.

Salah satu kelompok bangsa berpindah yang mengarungi lautan itu terdampar ke suatu puLau kecil yang terletak di pojok timur laut Pulau Jawa. Para pendatang dari utara ini lalu menetap di sana untuk kemudian menjadi cikal-bakal bangsa Madura. Seperti bangsa-bangsa Piah, Campa, dan Jai yang sekarang bermukim di Kocincina, mereka mengacu pada api dengan nama apoy, menyebut istrinya binè dan memakai kata ella untuk menyatakan sudah.

Berbeda dengan suku-suku bangsa lainnya bahasa mereka mengenal konsonan rangkap seperti bâssa, cacca, dhâddhi, kerrong, dan pottra. Bila dibandingkan  dengan bangsa-bangsa lain yang mendiami pulau-pulau di sekitarnya,leluhur orang Madura ini umumnya memiliki tengkorak yang celah matanya lebar mendatar dengan tulang pipi lebih menonjol. Raut muka mereka tidak begitu halus, dan warna kulitnya lebih gelap. Tetapi karena berpenulangan lebih kukuh dan berotot lebih kekar, mereka merupakan pekerja keras yang rajin dan ulet, yang berbicara dengan suara lantang, serta berwatak keras.

Selain dengan perahu bercadik dan berkatir (yang sekarang masih tersaksikan pengembangannya dalam bentuk jhukong agaknya ada di antara rombongan pendatang dari utara ini yang sampai ke pulau tersebut dengan menggunakan ghitek atau rakit. Dugaan ini didasarkan pada salah satu mitologi yang didongengkan orang-orang tua Madura tempo doeloe dalam menjelaskan asal-usul leluhurnya. Mereka menganggap dirinya keturunan Sang Segara, seorang putra laut yang sampai ke pulaunya dalam kandungan ibunya yang terdampar di pantai  utara Madura dengan menaiki rakit.

Mitos yang menyatakan bahwa Sang Segara merupakan cucu raja Jawa bernama Gilingwesi yang bertahta di Medang Kemulan sama sekali tidak dapat dipertahankan kebenarannya. Banyak sekali ciri, sifat, watak, pembawaan, dan budaya serta bahasa suku bangsa Madura yang sangat berlanian sehingga tidak ada hubungannya dengan yang dimiliki suku bangsa jawa. Pada pihak lain legenda pengiring sakti ibu Sang Segara bernama Ke’ Poleng yang berkain tenun kotak-kotak bukan asli Madura tetapi diadopsi dan diringkaskan dañ khazanah tradisi budaya Bali dan Jawa. (Datam kaitannya dengan kisah kerhasilan petualangan laut berjarak jauh dengan menggunakan rakit agaknya perlu ditambahkan catatan bahwa sebagai akibat kemelut politik di Indocina, pada tahun 1980- an beberapa kapal kayu tak bermesin yang memuat pengungsi orang Kamboja telah terdampar puta ke pantai utara Madura.)

Kemudian memang ternyata bahwa mereka adalah pelaut-pelaut sejati, yang senang berbantal ombak, berselimutkan angin samudra, dan berpayung langit. Dari dulu, bagi bangsa ini laut merupakan gantungan harapan masa depannya. Laut juga menjadi cermin petambang kebebasan jiwa petualangannya dan wadah pelampias rasa kemerdekaannya. Dalam perjalanan sejarah kehidupan leluhur bangsanya mereka pernah mendapat ancaman bahaya yang datang dari pedalaman di mata. Oleh karena itu mudahlah dimengerti jika mereka selalu menggapai ke arah setatan yang waktu itu berupa laut. Orientasi ke laut secara luas dapat dimaknakan ka lao’ dalam Bahasa Madura (yang berarti ke setatan, yaitu penunjuk arah mata angin lawan utara).

Terkait: Pengaruh Pengindiaan Dianut Orang Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.