Reformasi Administrasi Belanda bagi Kaum Ningrat Madura

Catatan admin: tulisan berikut adalah sebuah makalah yang dibacakan dalam sebuah seminar di Manila, 25-28 Januari 1982, dan terangkum dalam buku “Radikalisasi Petani” yang ditulis oleh Dr. Kuntowijoyo, pada hlm. 81 – 111
Perempuan Madura, sedang megolah gerabah pada tahun 1910-1925
Perempuan Madura, sedang megolah gerabah pada tahun 1910-1925

Tiga kabupaten Madura—Bangkalan, Sumenep, dan Pamekasan—dalam abad kesembilan belas merupakan kadipaten-kadipaten agrornanagerial, dalam pengertian bahwa para penguasa dan rakyatnya memiliki sumber daya alam yang sama, yaitu tanah pertanian. Organisasi-organisasi politik mereka bisa disebut sebagai negara patrimonial dimana aparat pemerintahan berada di bawah kendali langsung penguasa 1. Para penguasa membagikan sumber daya ekonomi melalui sistem apanage atau percaton, dimana keluarga ningrat memperoleh desa-desa sebagai sumber penghasilan mereka.2

Secara keseluruhan organisasi sosial mereka diatur melalui suatu sistem upeti, dimana masyarakat dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas penguasa dan kelas petani kecil. Kelas penguasa tidak memiliki sumber ekonomi kecuali upeti yang diberikan oleh petani.

Maka bisa dibayangkan bahwa setiap perubahan dalam posisi administratif kaum penguasa akan mempengaruhi kelas penguasa. Tulisan ini mencoba menjelaskan reformasi administratif yang dijalankan oleh penguasa kolonial dan dampaknya terhadap kelas penguasa, terutama kaum ningrat.

Organisasi Sosial

Organisasi sosial di Madura itu serupa dengan organisasi sosial kerajaan-kerajaan Jawa. Organisasi itu terdiri dan dua kompleks hubungan. Pertama, hubungan produksi yang membentuk sistem upeti yang mengatur pemroduksian dan pembagian surplus-surplus. Kedua, hubungan administratif yang membentuk birokrasi yang memerintah negara dan desa. Kedua jaringan kerja itu bertemu dalam tingkat sosial organisasi yang paling rendah, yaitu desa dan para petani.

Upeti. Para adipati Madura menguasai desa-desa sebagai daerah kekuasaan mereka. Desa-desa ini, disebut desa daleman, biasanya terdiri dan tanah pertanian yang terbaik di daerah bersangkutan. Dalam desa-desa seperti itu, para penguasa mengambil sepertiga dan seluruh tanah pertanian menjadi milik mereka (sawah daleman). Sementara sisanya dimiliki oleh para petani. Sawah daleman ini dikerjakan oleh para petani yang memberikan tenaganya kepada para adipati dengan imbalan dibebaskan dan semua jenis pajak. Desa daleman harus menyerahkan sepertiga dari hasil produksi para petani dan lahan pertanian.3

Selain penghasilan dan tanah pertanian, para adipati menerima berbagai upeti lainnya, terdiri dan barang-barang dan jasa. Penduduk desa diharuskan menyerahkan hasil-hasil tertentu. Misalnya, patereman diharuskan memberikan udang, patelloran menyerahkan telur, pajerugan menyerahkan buah jeruk, paarengan menyerahkan arang. Upeti jasa terdiri dari, antara lain, paembi’an (penggembaIa), larangan (pengawas kijang), dan blandong (penebang kayu).4 Pada waktu-waktu tertentu, misalnya waktu adipati mengadakan perjalanan, rakyat harus menyediakan kuda-kuda, kayu api, air untuk minum, dan lain-lainnya. Jumlah rakyat yang terlibat dalam perjalanan seperti itu sering sangat banyak karena layanan diperlukan bukan hanya bagi penguasa, tetapi juga untuk keluarganya.5

Selain dan keharusan upeti barang dan jasa, para penguasa menerapkan beberapa jenis pajak nonpertanian. Pajak-pajak yang terpenting adalah pajak pasar (wang popon), pajak impor dan ekspor (wang bandar), pajak pasir pada prahu, wang plawang (uang pintu) atau pajak kependudukan. Orang-orang tertentu—jika bukannya kepala desa sendiri—ditunjuk untuk mengumpulkan pajak ini; seorang ape! plawang misalnya, bertanggung jawab mengumpulkan wang plawang dan sebuah desa.6

Untuk para keluarga, pejabat, dan abdi dalem, sistem upeti terdiri dari sistem apanage atau percaton dan layanan kerja (pancen). Percaton adalah pembagian desa dan tanah pertanian. Kerja pancen adalah layanan kerja yang harus diberikan oleh rakyat dalam desa percaton kepada pemegang percaton. Tidak ada desa atau petani yang terhindar dari percaton dan pancen, kecuali mereka yang tinggal dalam desa daleman (desa-desa milik penguasa) dan desa perdikan (desa-desa bebas).

Dalam sistem percaton, para keluarga, pejabat, dan abdi dalem memperoleh bagian mereka melalui sebuah piagem (sertifikat) yang diberikan oleh penguasa dan didaftarkan di kantor perbendaharaan (gedong). Piagem berisi nama yang diberi piagem, nama-narna desa yang diberikan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemegang piagem. Di desa, pemegang apanage menunjuk seorang wakil untuk menjalankan hak-hak pemegang. Walaupun hak itu tidak bisa diwariskan atau dialihkan, pemegang apanage diboIehkan menyewakan desa bersangkutan, tetapi harus mernbuat sertifikat sewa (pepadang) yang harus ditandatangani oleh pejabat gedong.7. Sistem sewa mi kemudian menjadi penyebab mundurnya sistem percaton.

Salah satu hak pemegang percaton—dan ini menjadi beban para petani—adalah penarikan pajak tanah. Cara penarikan pajak tanah berbeda dan tempat saw ke tempat lain. Di Pamekasan, pajak tanah pertanian dalam desa-desa percaton dikumpulkan dengan dua cara, yaitu apakah sebagai pajak uang yang besarnya seperempat nilai panen bersih, disebut obang tandun, ataupun sebagai pajak barang yang berjumlah sepertiga hasil panen. Yang biasa dipakai adalah cara pertama, walaupun memberatkan petani. Selain itu, pemegang percaton sebuah desa memiliki hak atas tanah yang tidak bisa diwariskan. Dia boleh mengambil separo hasil panen tanah-tanah seperti itu, atau menyewakannya, atau meminta penduduk desa men gerjakan tanah untuknya dengan hanya memberikan benih dan membayar upah memanen. Pemegang percaton juga menerirna pajak pekarangan pamengkang), biasanya sepertiga hasi! produksi buah-buahan. Selain pemberian desa, pemegang apanage mungkin juga memiliki percaton yang berupa sawah, yang harus dikerjakan oleh para petani dengan sistem upeti kerja.

Upeti kerja yang diberikan kepada para pemegang apanage—kaum ningrat, pejabat, dan abdi dalem—disehut sistem pancen atau kemit. Berbeda dengan layanan-layanan kepada penguasa yang melibatkan seluruh desa di seluruh kabupaten, yang terdiri dan hampir semua Iayanan yang diperlukan untuk kesejahteraan adipati, maka layanan-layanan kepada pemegang percaton terbatas kepada desa-desa percaton dan hanya untuk kerja-kerja tertentu. Pancen meliputi layanan-layanan membawa payung kebesaran dan kotak sirih serta mengikuti perjalanan. Terdapat juga layanan-layanan periodik—baik berbentuk kerja atau barang—selama pesta-pesta tahunan atau upacara lainnya, misalnya perkawinan dan sunatan, rakya diharuskan menyumbang buah, ayam, dan keperluan lainnya. Keperluan-keperluan harian lainnya, misalnya rumput makanan kuda, kayu bakar, kebersihan rumah, dan tukang kebun juga merupakan kerja pancen atau kemit.8

Untuk semua layanan ini, pemegang percaton harus memberikan upeti kepada penguasa dan menyumbangkan sejumlah uang, biasanya untuk membiayai perjalanan penguasa (obang tundan).9

Catatan

  1. Konsep patrimonialisme diambil dari Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization (New York: The Free Press, 1964), him. 62, 246 dst.
  2. Percaton berasal dan kata cato (Jawa, catu) yang berarti “sesuatu yang diterima dari raja atau pemerintah sebagai penghasilan”. Lihat H.N. Kiliaan, Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek (Leiden: E.J. Brill, 1904), vol. I, hlm.
    119.
  3. J.M. van Vleuten, Het Grondbezit in het Regentschap Pamekasan, Residentie Madoera (Rotterdam: Nijgh & van Ditmar, 1873), 10, hIm. 21-22.
  4. W.B. Bergsma, Eindresume van het bij de Gouvernernents Besluit dd. 10 Juni 1867, No. 2 Bevolen Onderzoek naar de Recht en van den Inlanderop de Grondop Javaen Madoera (1876- 1896), III, Bijiage D, (V.D.M., “De Persoonlijke Diensten Tijdens het Vorstenbestu in de Afdeeling Madoera [Bangkalan”), him. 1.15-117.
  5. Vb. 16 Desember 1867 No. 24, “Nota [C. Bosscherj Omtrent den Toestand vande Residentie Madura bij het Optreden van den Ondergetekende, als Hoofd van Gewestelijke Bestuur Aldaar”, hlm. 48-49. Dinyatakan bahwa untuk perjalanan Raden Ayu dari Bangkalan ke Pamekasan, sekitar 100 km, 60 kuda dan 300 orang dikerahkan.
  6. Lihat Hermanus Massink, Bijdrage tot de Ken nis van he! Vroeger en he! Tegenwoorcfige Bestuur op he! Eiland Madoera (Arnhem: K. van der Zonde, 1888), hIm. 24-25.
  7.  Vleuten, Grondbezjt, him. 14-16.
  8. Bergsma, Eindresunze, III, him. 115-117.
  9. Ibid., II, Bijiage HH, him. 131.

bersambung : Penghapusan Sistem Upeti dari Pemerintah Belanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.