Penghapusan Sistem Upeti dari Pemerintah Belanda

Administrasi

Orang Belanda Kalianget
Orang Belanda Kalianget

Dalam masing-masing kabupaten Madura, kekuasaan diatur menjadi suatu administrasi wilayah dan departemental. Kedua pembagian itu mendukung sistem upeti—selain administrasi peradilan dan keagamaan. Organisasi wilayah dikepalai oleh seorang patih, orang kepercayaan penguasa. Di bawah patih adalah para wedono, yaitu kepala distrik; di bawah wedono adalah para mantri aris, kepala subdistrik; dan di bawahnya lagi adalah kliwon, kepala desa. Organisasi departermental terdiri dan gedong (perbendaharaan), pengadilan, dan penghulu (kepala urusan agama). Patih adalah kepala wilayah dan mengawasi ketiga kantor departemental. Selain administrasi wilayah dan departemental, para adipati memiliki kraton, paseban (aula), dan barisan (pasukan bersenjata).1

Bagian terpenting dan keberadaan kadipaten adalah desa. Dalam sebuah desa, sistem upeti dan administrasi bertemu. Dalam sebuah desa percaton, selain pemerintahan desa terdapat juga wakil dan pemegang percaton, pejab at penarik pajak, dan orang-orang yang menyelenggarak an Iayanan-layanan khusus bagi penguasa. Administrasi desa bertindak sebagai pemerintah desa dan departemental. Dalam sebuah desa daleman yang berada langsung dibawah kraton, tanggung jawab utama pemermtah desa adaiah melayani istana. Dalam sebuah desa perdikan yang bebas dan pajak-pajak, sistem upeti di desa diatur untuk kegunaan khusus yang dicantumkan dalam piagem.2. Ringkasnya, desa adalah tulang punggung negara, sumber ekonomi para penguasa, dan sumber daya manusia.

Distribusi desa dan pertanian sebagai percaton untuk kerabat, pejabat, dan abdi dalem merupakan tanggung jawab penguasa. Perselisihan kerabat di antara keluarga ningrat sering berasal dan ketidakpuasan dalam pembagian percaton. Ini disebabkan karena jumlah kelas penguasa bèrtambah, sementara jumlah desa tetap sama—karena praktis tidak ada lagi tanah tersisa menjelang pertengahan abad kesembilan belas. Selain itu, mengingat Madura tidak memiliki tanah sawah, maka kesejahteraan kaum ningrat cenderung menurun.

Kelas Sosial

Seorarg pengunjung Belanda menyimpulkan bahwa masyarakat Madura terbagi menjadi werkezel (keledai-beban) dan leeglooper (petualang-malas), budak dan tuan, atau produsen dan konsumen.3 Yang dir naksudkan sebagai petualang malas, adalah kategori pertama kelas penguasa, yaitu ningrat, kelas nonproduktif. Kategori kedua adalah mantri atau pejabat-pejabat tinggi, dan ketiga adalah abdi dalem—yaitu rendah dan pejabat desa.

Kerabat adipati, atau sentana, meliputi keluarga sampai cucu-cucu penguasa. Hubungan mereka dengan penguasa membuat mereka berhak memperoleh percaton. Di luar garis keturunan adipati terdapat juga gelar-gelar kebangsawanan, tetapi tanpa imbalan-imbalan ekonomi. Kecuali kalau para bangsawan rendah ini memperoleh jabatan dalam administrasi, mereka itu cenderung tidak dikenal.4 Maka jumlah efektif kaum sentana itu terbatas. Biasanya, tergantung dekatnya garis keturunan mereka dengan penguasa, sentana dibagi menjadi tiga kategori, sentana ageng, sentana, dan sentana alit.

Para sentana biasanya hidup dengan enak. Selain pecaton, yang merupakan sumber ekonomi mereka, mereka memperoleh simbol status yang tinggi, misalnya mernp eroleh gelar, perlengkapan kebesaran, misalnya pakaian resmi dan payung, dan privilese-privilese lainnya. Mereka bisa masuk ke dalam lingkungan kehidupan istana yang oleh sementara pengunjung Belanda disebut mewah.5 Para penguasa biasanya menyediakan jahatan administrasi tinggi, misalnya wedana untuk kerabat mereka. Walau tanpa jabatan, tetapi penghasilan sentana sudah cukup besar untuk mendukung gaya hidup mewah.

Namun, ketika jumlah sentana semakin besar, maka kemakmuran para penguasa pun semakin merosot. Perkawinan poligami para penguasa menyebabkan bertambahnya jumlah senntana sehingga tidak mungkin menyediakan income yang cukup untuk mereka.6 Adipati Bangkalan yang wafat tahun 1862, misalnya mempunyai enam istri, sementara putranya mempunyai lima istri.7  Naiknya jumlah ini semakin cepat karena usia kawin yang rendah, 20 untuk pemuda dan 15 untuk gadis. Dalam tahun 1862, jumlah keseluruhan sentana adalah 145 sentana ageng, 1.119 sentana dan 1.121 sentana alit.8 Mengingat bahwa Madura tidak cukup memiliki sumber daya pertanian, maka bisa dimengerti apabila alokasi percaton menimbulkan masalah. Sudah sejak tahun 1852 suksesi takhta Bangkaian menimbulkan krisis karena kecemasan akan dicabutnya percaton oleh penguasa baru menjadikan trauma.9 Sementara itu, merosotnya penghasilan para penguasa itu sendiri diperhatikan pula oleh penguasa Belanda. Sumber-sumber Belanda mencatat bahwa penghasilan Adipati Bangkalan telah merosot dari 300 sampai 400 ribu gulden di masa lalu menjadi hanya 85 ribu gulden dalam 1863. Kemerosotan itu dikarenakan meningkatnya jumlah sentana yang harus diberi penghasilan. Sebuah laporan menyebutkan bahwa beberapa desa daleman yang biasanva dikuasai oleh adipati diberikan kepada sentana.10

Reformasi Administratif  Belanda

Salah satu tindakan pemerintah Belanda adalah mengambil alih monopoli garam. Setelah mengambil monopoli garam dari Inggris, maka Belanda mengadakan reformasi dengan secara Iangsung mengawasi produksi, berhub ungan langsung dengan produsen, dan memonopoli pemasarannya. Keuntungan dari monopoli  yang seharusnya jatuh ke tangan para adipati Madura, sangatlah besar.

Dalam tahun 1852, harga jual garam lebih dari tiga puluh kali harga beIinya.11. Sumber-sumber Belanda melaporkan bahwa monopoli menyediakan imbalan bagi para produsen garam sehingga usaha di bidang ini menjadi atraktif. 12.  Sebuah peraturan yang memperkuat monopoli garam dikeluarkan dalam 1882, guna melindungi industri tersebut terhadap produksi gelap.

Tampaklah bahwa kehilangan industri garam tidak mengusik para penguasa bersangkutan karena mereka sebenarnya tidak tahu cara mengambil manfaat dari industri tersebut. Mereka telah membiarkan industri itu dikuasai para pedagang Cina. Namun, Belanda tidak berhenti sampai disini. Setelah mengambil hak-hak bandar Sumenep dan Pamekasan, maka hak-hak bandar Bangkalan diambil alih tahun 1847 untuk beberapa tahun. Setelah ternyata bahwa kebandaran itu mengalami kerugian, maka Belanda mengembalikannya untuk kemudian diambil buat seterusnya dalam tahun 1863. Dari tahun ke tahun, Belanda menghilangkan berbagai hak dan penguasa pribumi. Pada tahun 1863 pajak pasar Bangkalan diambil alih, pajak perdagangan diterapkan, serta pajak penjualan dan penyembelihan ternak.13 Sumenep yang telah kehil angan pajak penangkapan ikan di laut terpaksa melep askan pajak penangkapan ikan paritai dalam tahun 1867.

Penguasa Belanda mencoba memantapkan hak-hak ekonominva dengan sedikit demi sedikit memperkuat posisi administratif mereka. Langkah untuk menguasai sepenuhnya Madura dimulai di Pamekasan ketika adipati disitu dituduh melakukan korupsi. Dan titik pandang Belanda, ini sudah cukup alasan untuk melakukan reorganisasi sepenuhnya di Pamekasan. Perselisihan yang timbul adalah mengenai keabsahan tindakan adipati mengambil uang pembayaran sebesar £ 113.092 yang seharusnya dibayarkan kepada para petani di daleman-nya yang mengerjakan kebun tebu yang disewa pabrik gula dan adipati. Belanda menuduhnya menyelewengkan uang itu, sementara adipati menyatakan bahwa dia berhak atas uang itu karena para petani telah mengerjakan tanah itu sebagai bagian dan kerja pancen. Sebagaimana diketahui, rakyat daleman diwajibkan mengerjakan sawah dalernan— sekarang dipakai menanam tebu—tanpa diupah. Adipati menafsirkan bahwa dialah yang berhak atas uang pembayarannya, bukannya para petani itu. Selain itu, dia tidak mampu rnembayar upeti tahunan kepada Belanda untuk dua tahun berturut-turut, 1852-1853. Lebih lagi, dia dituduh memakan uang haram sebanyak 30 sampai 40 ribu gulden yang merupakan uang pemerintah Belanda. Menjelang tahun 1853 Adipati Pamekasan dipecat dan jabatan administratifnya.14 Kemudian pada tahun 1858, Pamekasan dijadikan kabupaten di bawah pemerintahan langsung Belanda setelah Karesidenan Madura dibentuk pada tahun sebelumnya.

Reformasi ini telah menghapuskan sistem upeti dan administrasi tradisional. Sistem percaton dan pancen, dan pemerintah Belanda menerapkan pajak tanah pertanian dalam bentuk uang sebesar seperlima harga jual panen setelah dikurangi dua perlima untuk ongkos tenaga. Para korban reformasi upeti dan administrasi adalah kaum ningrat, para pejabat, dan abdi dalem. Kaum ningrat kehilangan privilese-privilese percaton dan pancen mereka. Para pejabat juga kehilangan percaton dan pancen, tetapi sebagian tetap dipertahankan sebagai pejabat dalam admin istrasi baru. Hampir semua abdi dalem, kecuali yang menjadi pejabat desa, kehilangan kedudukan dan percaton mereka. Kelompok terakhir ini, termasuk orang-orang yang melayani para penguasa pribumi dalam jabatan-jabatan non-administratif, harus mencari pekerjaan-pekerjaan baru di luar istana. Dislokasi sosial mi menimbulkan pelbagai masalah, walau pemerintah Belanda mencoba mengatasi beberapa masalah sosial.15 Keluarga-keluarga bangsawan dan para pejabat tersebut, yang tidak menip eroleh pekerjaan dalam dinas kepegawaian, baru diber ikan kompensasi seumur hidup sebanding dengan pengh asilan-penghasilan mereka sebelumnya.

Kadipaten kedua yang direorganisasi adalah Sumenep. Berbeda dengan Pamekasan yang adipatinya dituduh korupsi dan lemah, bahkan menurut sumber-sumber Belanda, Sumenep dianggap memiliki adipati yang kuat dan berpengaruh ketika dilakukan reorganisasi pada tahun 1883. Hubungan antara Adipati Sumenep dengan pemerintah Belanda juga tetap baik. Maka reformasi yang terjadi disini hanya terjadi secara bertahap. Dalam tahun 1854, segera setelah diberhentikannya Adipati Pamekasan, Belanda berencana mengerjakan yang serupa untuk Sumenep, tetapi masih tidak memiliki alasan yang tepat untuk melakukan perubahan radikal. Untuk sementara Belanda puas dengan memperoleh hak menunjuk patih, pelaksana pemerintahan adipati.16 Dari tahun ke tahun, terutama ketika terjadi suksesi dalam tahun 1873, muncul kembali desas-desus mengenai reformasi. Namun, hanya dalam tahun 1883-lah waktunya dianggap tepat.17 Administrasi baru mengambil alih pemerintahan dan semua institusi upeti dihapuskan. Juga, disini pajak tanah diberlakukan dan para pegawai dibayar dengan uang, tanpa privilese atau pancen. Harta adipati dianggap milik pemerintah dan dirampas tanpa penggantian. Hilangnya penghasilan keluarga ningrat yang tidak memegang jabatan administratif dalam administrasi baru dikompensasi dalam bentuk pensiun seumur hidup sebanding dengan penghasilan mereka sebelumnya. Namun para mantri hanya menerima separo dari penghasilan mereka sebelumnya, dan ini hanya untuk setahun saja. Untuk melunakkan keluarga istana, Belanda berjanji bahwa penunjukan pejabat-pejabat kadipaten tidak akan mengabaikan kepentingan-kepentingan kaum ningrat. Perbedaan antara Sumenep dan Pamekasan adalah bahwa para mantri Sumenep tidak begitu beruntung karena reorganisasi sebelumnya di Pamekasan masih memberikan hak pensiun seumur hidup kepada para mantrinya.

Kadipaten Madura terakhir yang dihapuskan adalah Bangkalan. Sejak tahun 1847 Belanda telah memperoleh hak untuk menunjuk patih. Dan tahun 1863 Belanda menuntut supaya Sampang, sebuah kawedanan dan Bangkalan, diserahkan kepada Belanda. Sampang menjadi bahan uji untuk penghapusan kabupaten sepenuhnya. Bersamaan dengan Sampang, adipati juga harus menyerahkan hak-hak untuk menarik pajak. Penghapusan sebenanya terjadi untuk seluruh kabupaten itu pada tahun 1885. Sebagaimana dengan semua reorganisasi sebelumnya, sistern percaton dan pancen dihapuskan.18

Dalarn semua perubahan itu terdapat kontinuitas-kontinuitas. Belanda mempertahankan institusi-institusi desa perdikan, pemerintahan desa, dan barisan (pasukan istana bersenjata), yang semuanya masih memakai sistern percaton sebagai sumber keuangannya. Lebih jauh, walau Belanda telah menghapuskan layanan kerja tradisional, penduduk masih dituntut untuk memberikan layanan kerja umum (heerendiensten) yang di bawah pemerintahan Belanda malahan lebih intensif dan Iebih lama dibanding dalam sistem lama. Dan semua reformasi nii, yang paling menarik adalah bahwa pemerintah Belanda berhasil memerintah dengan memperoleh untung yang dimasukkan kedalam kas negara, sementara para penguasa Madura selalu mengalami defisit.19

Catatan:

  1. J. Hageman JCz; Eiland Madoern, Bawean, Keangilan en Sumanaparchipel, MS-KITVL H-35; J. Hageman JCz. “Bijdra ge tot de Kennis van de Residensi Madoera”, TNI: 1858, ii, him. 344.
  2. Lihat F. Fokkens Jr., Vrije Desa op Java en Madoera (Batavia:
    Albrecht & Co., 1887), him. 34-35.
  3. J. Hageman JCz., “Aanteekeningen over Nijverheid en Landbouw op het Eiland Madoera”, TNLNI, IX: 1863, hIm. 277.
  4. Mengenai gelar dan strata keningratan lihat L.W.C. van den Berg, Dc Inlandsche Rangen en Titels op Java en Madoera (Batavia: Landsdrukkerij, 1887).
  5. Mengenai gambaran kehidupan istana, lihat J.H. Janssen, “De Gastvrijheid van den Sultan van Madura”, Dc Oosterh ug, 1835, ii, hIm. 51-58; Wolters Robert van Hoevel, Reis over Java, Madoera, en Bali in het Midden van 1847 (Amsterd am: P.N. van Kampen, 1849-1851), vol II, him. 1-99.
  6. Istri-istri tambahan yang biasanya berasal dan kalangan lehih rendah tidak termasuk sentana, dan hanva memperoleh gelar kehormatan. Juga tidak terdapat catatan bahwa istri-istri tersehut rnemperoleh perc ton. Namun putrap utra mereka mewarisi darah ayahandanya dan termas uk sentauza, walau tidak berhak menggantikan keduduka n ayahnya.
  7. Vh. 22 Agustus 183No. 21, Resideii Madura kepada Gubemur Jenderal Pamekasan, 31 Agustus 1862 Geheim (rah asia) LaA.
  8. “Politieke Versiag der Residentie Madoera, 1862”, Appendix.
  9. Exhibitum 9 Juni 1855 No. 303 Geheim , 418-419. Laporan mengungkapkan kekhawatiran seorang pangeran bahwa percalon-nya akan diambil oleh penguasa baru.
  10. 1/b. 22 Agustus 1863 No. 21.
  11. Hageman, “Bijdrage”, i, 331.
  12. “Algemeen Versiag der Residentie Madoera, 1862”.
  13. Vb. 19 November 1863 No. 40, Pamekasan 27 Juli 1863, “Contract bij Optreding van den Panembahan van Mad oera Tjakra Adi Ningrat als Regent Aldaar”.
  14. Vb. 8 Maret 1856 No. 136, Besluit 21 April 1853 No. LaR; Exhibitum 29 Mei 1854 No. LdA Kabinet, Buitenzorg, 25 Maret 1854 No. 186/fl, Gubernur Jenderal kepada Kem enterian Jajahan.
  15. Vb. 22 Juli 1857 No. 362, Catatan Asisten Residen Sumen ep dan Madura, Sumenep, 1 April 1856 no. LtE. Belanda bisa membiayai pengeiuaran seperti itu karena dmas kep egawaian yang barn hanya menghabiskan biaya f20.580 setiap tahun.
  16. Exhibitum 23 September 1856 No. 553 bis Geheim; Vb. 7 September 1864 No. 150 Geheim, Besluit 4 Oktober 1854.
  17. Staatsblad No. 242, 1.8 Oktober 1883.
  18. Lihat Staatsb!ad No. 144, 145, dan 146/1885.
  19. Lthat Mr. 85/1883, Bijiage 24 Agustus 1883 No. 14, Resid ent van der Tuuk kepada Gubernur Jenderal, 3 April 1883; 1gb. 19 Desember 1883 No. 54, Direktur Urusan Pei nerintahan Negeri kepada Gubernur Jenderal, 1 Oktoher 1.883. Lihat Juga Koloniaal Versiag 1891., Bijlage N. Dalam tahun 1890 pajak kepala yang diterapkan setelah dihapusn ya layanan kerja berjumlah sampai f264.691, atau setel ab dipotong 8 persen ongkos penarikan oleh pejabat-pejab at desa, f243.515,72. Layanan kerja umum memakan hiaya 119.975, 69 dan kompensasi pancen f55.442,50, sisan ya sebesar 1168.097,62 masuk ke dalam kas pemerintah.

Tulisan sebelumnya: Reformasi Administrasi Belanda dan Akibatnya bagi Kaum Ningrat Madura,1850-1900

bersambung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.