Pesantren Modal Pengembangan Bahasa Madura

K. M. Faizi, sastrawan Pesantren dihadapan para santriwati

Perpaduan antara mesin cetak dan kapital(isme) —yang memproduksi dan memasarkan bahasa dalam suatu cetakan— memungkinkan suatu bahasa terakselerasi sedemikian rupa dan menjangkau masyarakat dengan relatif luas, dengan pembayangan tentang suatu komunitas pengguna bahasa itu sendiri.

Cetakan membangkitkan imajinasi tentang sejumlah pembaca di tempat-tempat lain yang relatif jauh, yang secara bersama-sama disatukan dan dipertemukan oleh bahasa dalam cetakan itu sendiri. Ketika para santri belajar kitab cetakan berbahasa (terjemahan) Madura, diam-diam mereka membayangkan santri-santri lain belajar kitab yang sama di tempat-tempat yang tak mereka kenal, dengan bahasa yang sama yakni bahasa Madura. Dengan cara itu, bahasa Madura terakselerasi, tersosialisasi, dan terinstitusionalisasi dalam jangkauan sosial yang tak terbayangkan sebelumnya.

Sayangnya, berbeda dengan kasus Eropa dan Indonesia, sebagai kekuatan budaya kapitalisme-cetak ini tidak bisa bekerja efektif dalam memodernisasi bahasa Madura. Sebab, ia segera menghadapi kenyataan lain fenomena bahasa Madura, baik di dalam maupun di luar lingkungan pesantren. Dalam kasus bahasa Madura di pesantren, kapitalisme-cetak akhirnya harus berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

Pertama, di lingkungan pesantren, bahasa Madura (sebagai produk kapitalisme-cetak) lebih merupakan bahasa skunder dengan bahasa Arab sebagai bahasa primer. Bahasa Madura bukan bahasa utama, melainkan sekadar bahasa kedua yang hanya berfungsi sebagai alat bantu sementara para santri belum mampu mengakses sendiri kitab-kitab kuning yang berbahasa Arab. Dengan demikian, maka yang penting di sini bukan bahasa Madura sebagai alat artikulasi ilmu, melainkan bahasa Arab.

Dengan posisi bahasa Madura seperti itu, maka tidak pernah (perlu) diuji sejauhmana bahasa Madura benar-benar mampu menjadi alat artikulasi ilmu, hambatan dan kesulitan apa yang dihadapi, dan jalan keluar apa yang mesti diambil untuk mengatasi hambatan atau kesulitan tadi. Jadi, bahasa Madura sesungguhnya tidak benar-benar disadari sebagai bahasa ilmu, apalagi dicita-citakan untuk menjadi bahasa ilmu yang canggih dan modern. Bahasa Madura digunakan sebagai bahasa ilmu lebih karena pertimbangan-pertimbangan praktis, sehingga ia dengan mudah boleh diganti dengan bahasa lain, misalnya bahasa Indonesia.

Kedua, produksi kapitalisme-cetak berupa kitab berbahasa (terjemahan) Madura terbatas untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan pengajaran di lingkungan pesantren, khususnya kebutuhan para santri kelas awal. Kapitalisme-cetak ini tidak memproduksi kitab atau buku berbahasa Madura untuk para santri senior (dan pembaca umum). Ini sejalan dengan yang pertama tadi: karena santri senior (diandaikan) sudah bisa mengakses sendiri kitab-kitab berbahasa Arab, maka untuk mereka tak disediakan lagi kitab berbahasa Madura.

Sejurus dengan itu, tidak terbentuk kebutuhan terhadap bacaan atau kitab berbahasa Madura di tingkat lanjut dan masyarakat umum. Dalam hal ini kapitalisme-cetak bekerja dengan rasionalitasnya yang khas: ia hanya akan memproduksi kitab berbahasa Madura sejauh ada permintaan pasar yang tinggi dan mungkin menyerap produksi kitab berbahasa Madura itu sendiri.

Ketiga, produksi kapitalisme-cetak berupa kitab berbahasa (terjemahan) Madura untuk lingkungan pesantren ini secara terus-menerus bernegosiasi dengan produksi lain berupa cetakan atau penerbitan buku untuk segmen pembaca umum. Negosiasi budaya itu berlangsung terutama pada penggunaan aksara. Yang pertama menggunakan aksara Arab; yang kedua menggunakan aksara Latin. Negosiasi budaya ini masih terus berlangsung sampai sekarang, sehingga tidak terjadi unifikasi aksara bahasa Madura. Tidak terjadinya unifikasi aksara dalam bahasa Madura —karena belum tuntasnya negosiasi tadi— inilah yang menjadikan kapitalisme-cetak tidak efektif dalam memodernisasi bahasa Madura.

Ini berbeda dengan negosiasi aksara Arab (Melayu) dan aksara Latin dalam bahasa Melayu-Indonesia. Dalam kasus bahasa Melayu-Indonesia, aksara Arab melahirkan tradisi pernaskahan, sementara aksara Latin (produk dari kapitalisme-cetak) melahirkan tradisi cetakan bahasa Melayu-Indonesia beraksara Latin, yaitu berupa majalah, surat kabar, dan buku.

Di sini, kapitalisme-cetak telah menuntaskan negosiasi aksara Latin dengan aksara Arab, yang berakhir dengan terjadinya unifikasi aksara Latin dalam bahasa Melayu-Indonesia. Tuntasnya negosiasi aksara Arab dan aksara Latin (yang berakhir dengan unifikasi aksara Latin) dalam bahasa Melayu-Indonesia inilah yang dengan efektif turut mendorong modernisasi bahasa Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.