Nilai Filosofi Tradisi Rebbã Bulan Ramadhan di Sumenep

hantaran bawaan peristiwa tunangan

Zainal Abidin

Keberhasilan penyebaran ajaran agama Islam di Indonesia khususnya di kabupaten Sumenep tidak terlepas dari pendekatan, strategi, dan metode  yang dilakukan oleh para ulama. Sehingga ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat benar-benar diperhatikan. Dari situlah dakwah bil hal dimulai dalam memperkenalkan ajaran Islam.

Kultur sosial masyarakat di kabupaten Sumenep yang sangat menjunjung tinggi tata krama, hubungan kekeluargaan, ulet, dan memegang teguh petuah para sesepuh dijadikan sebagai landasan dalam mengimplementasikan pemahaman terhadap ajaran Islam.

Saling berbagi kepada sesama yang dilakukan masyarakat di kabupaten Sumenep baik pada setiap memperoleh rejeki atau pada hari dan bulan tertentu sering dilakukan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saling berbagi kepada tetangga dan keluarga di masyarakat Sumenep dikenal dengan istilah ter-ater atau Rebbã.

Istilah ter-ater bukan istilah yang asing bagi masyarakat Sumenep khususnya di pedesaan. Tradisi tersebut tetap dilakukan dan dipertahankan sebagai implementasi sedekah. Selain istilah ter-ater ada juga yang menggunakan istilah Rebbã (kerata basa : reb: ngarep, ba: barokah). Istilah Rebbã mempunyai maksud untuk mengharap berkah dari Allah.

Pada bulan Ramadhan masih ada tradisi Rebbã yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di Sumenep, yaitu satu kali ketika akan memasuki bulan Ramadhan, dua kali di dalam bulan Ramadhan, dan terakhir pada akhir bulan Ramdhan (Pasaran Hari Raya) atau pada tanggal 1 Syawal.  Adapun Rebbã tersebut, yaitu: Rebbã topa’ bãn apen (ketupat dan apem), Rebbã nasѐ’  (nasi), Rebbã kolek bãn palotan (kolak dan ketan), dan Rebbã nasi lengkap dengan lauk-pauknya dan satu atau dua jenis kue yang akan disuguhkan untuk orang yang bersilaturrahim. Rebbã tersebut ada yang diantarkan pada langgar, tokoh masyarakat atau yang dituakan, sanak famili, dan saling berbagi dengan tetangga.

Rebbã di bulan Ramadhan sebagai tanda syukur dan sarana bersedekah mempunyai filosofi sebagai berikut:

  1. Topa’ bãn Apen (ketupat dan apem)

Rebbã topa’ bãn apen (ketupat dan apem) dilakukan oleh masyarakat pada akhir bulan Sya’bãn yang dikenal juga dengan istilah hari Pasaran Puasa sebagai bentuk rasa syukur dan kegembiraan menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Filosofi Topa’ (to: paѐsto, pa’: pateppa’)

Filosofi topa’ dengan menggunakan arti kerata basa  “paѐsto bãn pateppa’” (benar-benar mengharap dan mengerjakan dengan benar serta sungguh-sungguh) mempunyai makna, yaitu dalam menjalankan ibadah puasa harus benar-benar mengharap rida Allah. Untuk memperoleh rida Allah, ibadah puasa itu harus dikerjakan sungguh-sungguh dengan memperhatikan syarat, rukun, hal-hal yang dapat membatalkan puasa, dan apa-apa yang dapat menggugurkan pahala puasa.

Isi ketupat yang padat dan putih dimaknai bahwa apabila puasa dikerjakan dengan benar dan sungguh-sungguh akan dapat membersikan dan mengokohkan jiwa/rohani, sehingga derajat muttaqin (orang yang bertakwa) akan diperoleh.

Filosofi apen (a: alako, pen: pajheppen)

Filosofi apen dengan menggunakan arti kerata basa  “alako pajheppen” (mengerjakan dan tidak terpengaruh godaan) mempunyai makna, yaitu dalam mengarjakan puasa jangan mudah tergoda oleh hal-hal yang dapat membatalkan puasa baik secara lahir ataupun batin. Sebagai pelengkap apem diberi tambahan gula merah cair yang mempunyai arti dengan mengerjakan puasa sungguh-sungguh dan tidak mudah terpengaruh godaan  akan memperoleh manisnya melaksanakan ibadah puasa.

  1. Nasѐ’ (nasi)

Rebbã nasѐ’  (nasi) dilakukan oleh masyarakat apabila bulan Ramadhan memasuki sepertiga terakhir tepatnya pada malam 21.

Filosofi nasѐ’  (na: paperna, sѐ’: ja’ pamossѐ’)

Filosofi nasѐ’  dengan menggunakan arti kerata basa  “paperna ja’ pamosse’” (betah dan tidak bãnyak tingkah) mempunyai makna, yaitu dalam mengerjakan puasa dan ibadah yang lain harus tetap istiqamah. Nasi yang berwarna putih mempunyai makna, yaitu pada sepertiga terakhir bulan Ramadhan semoga rohani bertambah putih dan  memperoleh keutamaan dari Lailatul Qadar.

  1. Kolek bãn palotan (kolak dan ketan)

Rebbã kolek bãn palotan (kolak dan ketan) dilakukan oleh masyarakat pada malam 27 bulan Ramadhan.

Filosofi kolak dan ketan

Kolak yang terbuat dari pisang, santan, dan gula merah mempunyai makna, yaitu memasuki hari-hari terakhir bulan Ramadhan, maka harus penuh pengharapan untuk memperoleh intisari dan manisnya ibadah puasa. Hal tersebut dapat peroleh apabila kita menyatukan jiwa dan raga dalam beribadah dan memohon rahmat dan ridha Allah.

Ketan yang dimasak dengan santan dan mempunyai sifat lengket mempunyai makna, yaitu ibadah yang kita lakukan selama bulan Ramadhan akan membawa hikmah atau manfaat yang selalu melekat di jiwa. Sehingga dapat mengubah pola kehidupan di luar bulan Ramadhan menjadi lebih baik.

  1. Nasi dan Kue

Rebbã nasi dan kue pada akhir bulan Ramadhan atau pada 1 syawal merupakan ungkapan tanda syukur dan ungkapan kebahagiaan dalam menyelesaikan ibadah puasa dan menyambut datangnya hari Raya Idul Fitri.

Filosofi tradisi Rebbã di bulan Ramadhan disampaikan oleh orang tua melalui tuturan lisan. Tradisi tersebut intinya untuk memberikan sedekah, saling silaturrahmi, dan memuliakan bulan Ramadhan. Jika filosofi tersebut disikapi dengan arif, maka kita akan memperoleh pelajaran yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Zainal Abidin, SDN Talango IV Kec. Talango

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.