Saya lihat kehidupan masyarakat Qunfudha dengan berternak kambing sangat makmur. Rumah dan kendaraan mereka bagus-bagus. Begitu juga penampilan rakyatnya sama sekali tidak menggambarkan sebagai masyarakat miskin sekalipun hanya bekerja sebagai peternak kambing. Hanya saja memang, agar cukup dan bahkan bisa menjadi kaya, memelihara kambing jangan sampai jumlahnya kurang dari seribu ekor. Paling sedikit lima ratus ekor. Jika kurang dari itu, hasilnya tidak akan mencakupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ketika itu, saya membayangkan, jika orang-orang berekonomi lemah di pedesaan daerah Madura dimodali bibit kambing, dalam jumlah yang cukup, misalnya, setiap keluarga disediakan 50 ekor, maka akan berkembang. Tentang penyediaan makanan ternak, saya kira tidak akan mengalami kesulitan. Tanah di Madura dan di seluruh negeri ini masih sangat luas dan mudah ditanami rumput, tidak sebagaimana di Qunfudha yang jauh lebih gersang. Saya ketika mengajukan usul itu, juga membayangkan apa yang dilakukan oleh orang-orang di New Zeland. Di negeri itu jumlah penduduknya yang diperkirakan hanya antara tiga sampai empat juta, memiliki ternak tidak kurang dari satu milyard ekor. Atas dasar pengalaman itu ——baik di Qunfudha maupun di New Zeland, masyarakat pedesaan di Madura pun bisa didorong untuk beternak kambing.
Pandangan saya waktu itu memang agak berbeda dengan pikiran teman-teman. Pikiran saya ketika itu dinilai sangat pragmatis, ——hanya usul pelihara kambing, dianggap katrok ——ndeso, sederhana, kampungan dan seterusnya. Beberapa teman mengusulkan agar masyarakat di pulau itu diberi beasiswa, diperkenalkan dengan kursus-kursus teknik informatika, managemen keuangan, berbankan, bengkel dan seterusnya. Mungkin pendapat teman saya itu betul, bahwa dunia modern selalu berurusan dengan ketrampilan tersebut. Akan tetapi pertanyaannya adalah, apakah idea-idea tersebut tepat untuk menyelesaikan persoalan jangka pendek ini. Siapa pun sesungguhnya akan menganggap bahwa ketrampilan informatika, komputer dan seterusnya itu adalah penting. Akan tetapi bagi masyarakat pedesaan, kiranya kebutuhan itu belum terlalu mendesak. Berangkat dari sini saya melihat bimbingan dan pemberian modal beternak bagi masyarakat desa justru lebih strategis, sebagaimana di Qunfudha dan juga di New Zeland.
Setelah menikmati keindahan Madura dari atas, yang kelihatan sedemikian indah itu, saya menjadi lebih percaya bahwa bangsa ini sesungguhnya memiliki prospek yang sangat cerah ke depan. Saya lebih optimis lagi, jika saya kemudian membandingkan daerah itu dengan daerah-daerah di Afrika. Di benua itu kemana-mana jika kita naik pesawat, kemudian pesawat udara itu terbang rendah, maka sepanjang mata memandang hanya tampak padang pasir, batu, dan tanah-tanah tandus. Madura yang selama ini saya anggap tandus pun, ternyata ketika saya lihat dari atas, masih tampak sedemikian subur dan indahnya. Apalagi pulau-pulau lainnya, yang selama ini sudah dikenal kesuburannya.