Melacak Akar Tradisi; Sakralitas Diantara Tradisonalitas
Kekecewaan itu boleh saja ada dalam benak semua orang. Penulis pun merasa kecewa ketika tradisi yang dulu pernah menemani imajinasi dalam melukis panorama tanah kelahiran harus tengge lam begitu saja. Dengan alasan yang sangat primordial-simplistis. Ada guratan sedih, mengingat semua yang penulis lihat saat itu adalah sebentuk tanda alam akan perbedaan yang sangat menda sar antara kehidupan perkotaan dan pedesaan.
Pada bentangan pemikiran yang lain, tradisi membakar sumbu (kampowan)menjelang sore adalah kebahagiaan tersendiri atas peta per jalanan kemanusiaan. Hakikinya, hidup adalah sebuah pembakaran. Bara itu itu tidak selamanya hanya membuat orang panas. Walau hukum alam mengatakan demikian.
Bagi penulis, bara adalah sebuah perlambang bagi kehidupan yang angkara. Maka tidak heran jika dalam keterangan agama, neraka itu diidentik kan dengan api? Panas dan bisa membuat tubuh melefeh. Akan tetapi dalam makna yang trasen dental bara itu kok lebih enak jika dimaknai seba gai sebuah simbol atas tatakehidupan yang me nyalahi aturan. Hukum Tuhan yang sudah pasti menyuruh kcpada semua hamba agar melasana kan segala perintah dan menjauhi segala lara nganNya.
Membakar sumbu menjelang sore, adalah i’ti kad suci dari umat untuk membakar hawa nafsu yang selafu ingin memhakar kehidupan. Dengan dihakarnya sumbu yang bahan-bahannya ada lah dedaunan kering yang mengotori pekarangan rumah akan memberikan nuansa bersih Jika mata memandang. Kebersihanan adalah sebagian dari kecintaan umat akan Tuhannya. Dalam persepektif kebudayaan, yang tidak baik memang harus dibakar dengan nyanyian alam.
Pencipta kebudayaan adalah rnanusia dan alam. Perpaduan ini akan menjadikan dimensi tersendiri untuk menemukan makna yang lebih esensiat.Makna suci akan penghormatan atas nama kemanusiaan. Ibu kita yang selalu memba kar .sumbu harus kita agungkan, karena mereka tidak pernah melupakan kepada Jasa para lelu hur yang telah memberikan sentuhan hidup bagi keberlangungan hidup generasinya. Modernitas bukan menjadi sebuah alasan untuk menengge lamkan pancangan budaya yang telah dilahirkan oleh para pendahulu. Kita bisa bercerita di era hari ini karena perjuangan mereka dalam memper tahankan dan meluruskan kehidupan. lya, kan?
Maka tulisan sederhana ini tidak lain sebentuk nasehat untuk diri kita agar selalu respek terha dap nilai yang telah lahir dari rahim kebudayaan. Madura. Pada tataran yang lebih prinsipil, kita sebagai masyarakat Madura. khususnya Sume nep setidaknya senantiasa menunjukkan kepriba dian sebagai masyarakat yang arif dalam melihat akar sebuah tradisi masa lampau.
Tradisi nenek moyang kita adalah tradisi yang selalu berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Oke lah, membakar sumbu (kampowan) menjelang sore kita rubah, namun jangan sampai kita le nyapkan nilai kesuciannya; hidupkan pelita hati menyambut malam yang temaram. Hidupkan kebebasan berfikir menjalani tahun baru 2008; sejatinya, kehidupan yang dijalani umat manusia itu tidak pernah akan sama. Akhirnya, mungkin ada korelasinya sebuah paparegan oreng, ko na; “man serena sere koneng, rokok eskot talena mera. Serrena gule oreng ta ‘ oneng, sala ben lo pot nyo ‘on sapaora”.
Bagaimana menurut anda?