“Prak!Prak!Prak!” Seorang prajurit yang lain memukuli punggung kakek itu dengan sebuah tongkat kayu.
“Ampun Tuan! Ampun!” Demikian kakek itu merintih kesakitan. Tanpa ampun, prajurit itu tetap memukulinya.
“Kambing ini sebagai ganti uang pajak yang berbulan-bulan belum kamu bayarkan,” teriak prajurit itu.
“Ini perintah raja!” Teriak prajurit yang lain.
Melihat beberapa prajurit berseragam melakukan hal itu, marahlah pangeran Jaka Lombang.
“Hey, prajurit! Lepaskan kakek itu dan kembalikan kambingnya!” Bentaknya keras.
“Siapa kamu? Beraninya mencampuri urusanku!” sergah prajurit itu sambil memandang pangeran Jaka Lombang dengan marahnya.
“Prajurit!” bentak seorang prajurit yang mengikuti pangeran. “Jangan lancang kamu! Hormatilah Pangeran!” Pinta prajurit pengikut pangeran.
“Kalian ini siapa? Pakaian kotor dan kumal berani membentak kami seorang prajurit.” Sahut prajurit berseragam itu. “Jangan ikut campur. Kami diutus Bunda Permaisuri untuk mengumpulkan pajak bagi kerajaan. Tidak tahukah kamu, sekarang kerajaan sedang miskin. Jadi butuh pajak yang banyak.” Lanjutnya. Tampaknya para prajurit itu tidak menyadari berhadapan dengan pangeran.
“Kalian ini prajurit macam apa? Kerajaan tidak pernah memerintahkan menarik pajak yang besar. Apalagi sampai merampas harta milik rakyat.” Kata pangeran keras.
“Lihat baik-baik. Apakah kalian tidak mengenalku?” Bentak pangeran sambil menyingkap pakaian kumalnya. Tampaklah timang emas menempel pada sabuknya. Mendadak wajah para prajurit itu pucat. Matanya memancarkan keraguan. Betulkah timang emas itu tanda kebesaran seorang pangeran, namun demikian beberapa temannya mulai menyadarinya.
“Ampun, Pangeran!” Kata seorang prajurit gugup sambil cepat-cepat duduk menyembah. Prajurit yang lain pun segera mengikutinya.
“Mohon maaf, Pangeran. Kami tidak menyadari berhadapan dengan Pangeran Jaka Lombang.” Sahut mereka bersamaan.
“Ampun, pangeran. Hamba melihat pangeran tidak memakai pakaian kebesaran. Jadi kami lupa!” lanjut seorang prajurit.
“Betul, Pangeran. Apalagi tubuh pangeran tampak kurus dan kotor.” Sahut yang lain.
“Sekarang dengarlah baik-baik!” Kata pangeran penuh wibawa. “Selama bencana belum teratasi, kalian tidak boleh menarik pajak kepada rakyat. Kalau perlu rakyat yang menderita harus kita tolong” Lanjutnya.
“Jangan kau ulangi lagi!” perintah pangeran tegas.
“Tapi Pangeran? Semua ini atas perintah Bunda Permaisuri!” Kata para prajurit hampir bersamaan.
Mendengar hal itu, pangeran diam dan menunduk. Hatinya sedih mengatahui sifat bundanya yang tidak berubah. Dari dulu bundanya selalu mengagungkan harta benda. Teringat hubungannya dengan seorang gadis sepuluh tahun yang lalu juga ditentang oleh bundanya karena gadis yang dicintainya berasal dari