Kiai Djauhari, Sosok Muqaddam Yang Sederhana
Menunaikan Ibadah Haji
Pada bulan R. Awal 1339 H/November 1920 M, Kiai Djauhari menunaikan haji untuk pertama kalinya. Saat itu, usianya menginjak 15 tahun. Keberangkatannya ke Tanah Suci Makkah konon adalah hadiah dan sang ayah atas kecerdasan dan ketangkasannya selama mi. Kebetulan saat itu, Nyai Khairiyah (putri pertama Kiai chotib), Kiai Mukri (suami Nyai Khairiyah), dan Kiai Syadzili (putra Nyai Khairiyah) juga berangkat menunaikan haji. Dan Kiai Djauhari disertakan dalam rombongan itu.
Di balik keberangkatan Kiai Djauhari ke Makkah, ternyata Kiai Chotib mempunyai rencana lain untuk putranya yang satu mi. Kiai Chotib ingin agar Kiai Djauhari tidak langsung melanjutkan studinya ke beberapa pesantren, melainkan bagai-ia Kiai Djauhari memiliki pengalaman dan wawasan yang luas terlebih dahulu.
Selama sepuluh bulan di tanah suci, Kiai Djauhari sering mengikuti pengajian di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dan kegiatan pengajianp engajian itu, tumbuhlah semangat Kiai Djauhari untuk senantiasa mencari dan mendalamj ilmu agama, sehingga sekembalinya ke tanah air, fiat untuk dapat belajar di pesantren-pesantren baik yang ada di Madura dan luar Madura semakin tinggi.
Selain menunaikan amaliah haji, Kiai Djauhari, Kiai Mukri dan rombongan berkenalan dan menjalin silaturrahmi untuk pertania kalinya dengan keluarga Syekh Abdullah Maridurah (asal Sampang) dan Nyai Shofiyah binti Jamaluddin (asal Bangkoneng) yang akhirnya mereka bukan saja akrab tetapi begitu dekat karena antara mereka masih terikat ikatan kekerabatar’ sebagai saudara tiga misanan.
Dalam silaturrahmi itu, Nyai Khairiyah bahkan sudah dianggap seperti keluarga Syekh Abdullah sendiri dan seringkali diberi kepercayaafl untuk niengasuh putra-putrinya1 terutama seorang putri yang masih berumur satu tahun, bernama Siti Maryam yang kemudian menjadi adik ipamya sendiri.
Silaturrahmi ini berlanjut ketika Kiai Mukti pulang dan Tanah Suci. Kiai Mukri seringkali berkunjung ke Bangkoneng, Sampang, mempererat tall kekeluargaafl dengan keluarga dan kakek moyang Nyai Maryam yang masih berdomisili di sana. Sementara itu, menurut Haji Sholeh (2008), sepulang dan Makkah mi, nama Djauhari secara resmi digunakan menggantikan nama Muhammad Amien.
Dibawah layak dibaca