Anak-anak di pulau ini setelah lulus SD, untuk melanjutkan SMP mereka harus sekolah di pulau seberang yakni Pulau Pagerungan Besar. Setiap pagi mereka berangkat ke sekolah secara bergerombol dengan menaiki sebuah perahu kecil bermesinkan diesel. Dan menjelang siang ketika mereka pulang, perahu yang mengangkut murid-murid SD tersebut tiba kembali disertai tawa riang suara mereka. Sedangkan kalau melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, setingkat SMA, maka mereka harus menyeberang ke Pulau Sapeken yang dapat ditempuh dua jam perjalanan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari warga pulau ini menggantungkan laut sebagai mata pencaharianya. Mayoritas warganya adalah Nelayan, sisanya pedagang dan guru. Sedangkan bercocok tanam hanya sebagai sampingan saja, ketika tidak melaut. Karena masih menggunakan cara-cara tradisional, maka para nelayan disini masih tergantung pada musim.
Kalau angin sedang kencang dan ombaknya besar maka nelayan disini tidak melaut. Biasannya pada musim itu mereka lebih suka untuk memperbaiki jaring yang rusak maupun mengecat perahu yang mereka galang ditepian pantai. Sambil diiringi sayup-sayup suara radio mereka membersihkan perahu yang kayunya banyak ditempeli kerak karang laut maupun lumut. Mereka membersihkannya dengan senang hati mengisi kekosongan waktu ketika istirahat melaut.
Tidak seperti nelayan di Jawa yang sudah menggunakan perlengkapan radar pencari ikan dan perahu besar, nelayan disini masih menggunakan perlengkapan tradisonal. Mereka mengandalkan pancing dan jaring payang untuk menangkap ikan. Sehingga hasil tangkapannya pun untung-untungan.