Identitas dan Warna Lokal Dalam Sastra Madura Modern

lhwal ‘tebing’ di bait pertama dengan ‘di tepian jalan’ di bait penutup bisa saja mengarah pada sebuah unsur kultur religi Madura yang diusung dalam rokat. Tebing adalah perlambangan dari pembatas dan tinggi, sedangkan tepian jalan adalah ‘tepi’ dari arus yang memusar pada satu pusaran atau satu perjalanan. Dalam wacana sufi, keduanya memperoleh sebuah tempat sebagai ‘hal’ dan ‘capaian’ yang tentu saja menyimpan jejaknya dalam sama’, tradisi berdendang atau menyimak puji-pujian dalam sebuah tarikat, terutama Maulawiyah.

Dalam Nemor Kara, masih cukup banyak terdapat puisi yang secara ‘lugu’ bicara Madura. Sebagaimana puisi “Kotta Babara n” (Kota Kelahiran) karya Nanik V. Ningsih (hal 16). Dengan pandangan mata kanak yang POIOS, puisi itu berbicara tentang latar belakang aku lirik, yaitu orang tuanya. Bahkan, dia juga menyinggung soal mitos yang berlaku bagi remaja Madura. Aku lirik merupakan seorang gadis Madura yang tidak boleh tidur pagi karena dapat menghambat jodohnya.

Beberapa puisi lainnya dalam Nemor Kara berbicara tentang Madura kebanyakan berjenis himne (dalam kaidah puisi Yunani), karena merupakan pujaan pada tanah kelahiran dengan mendedah apa yang selama ini tidak tampak ke permukaan. Namun, masing-masing memiliki gaya yang berbeda, bahkan dalam memandang Madura. Misalnya, puisi Yayan K.S. dan sebuah puisi Lukman Hakim A.G. yang lain memiliki nada serupa tetapi berbeda perspektif. Yayan dengan “Madhura Dhika Sokmana Bula” (Madura Kau Sukmaku), sedangkan Lukman dengan Madura Jodohku memiliki perbedaaan pada sudut pandang. Yayan melihat Madura dalam konteks kemaduraan, sedangkan Lukman melihat Madura dalam konteks keindonesiaan. Keduanya tetap berpijak pada kemaduraan. Puisi Yayan berpandangan ke dalam, sedangkan puisi Lukman melihat Madura di antara sekian suku yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Sebagaimana etnik lainnya di Indonesia, ancaman kehilangan jati diri dan tidak mengenal identitas bukan sesuatu yang tidak mungkin. Achmad Faesol dalam puisinya “Sonar se Elang” (“Sinar yang Hilang”) terhimpun dalam Nemor Kara. seakan-akan menangkap sinyal kehilangan. Kiranya konteksnya dapat apa saja. Namun, untuk saat ini secara kontekstual adalah melakukan serangkaian penyadaran diri bahwa apabila identitas itu tidak dibaca sinarnya dapat hilang percuma. Berikut ini penggalan puisinya:

Sanget ce’ta’ pantessa
Abe’ agellã’ tadã’ bãtessa
Samangkѐn aobã sadhãja
Kembhãng-kembhãng mabãr, tabuwãng
Innalillah…

Terjemahan:

Sangat tidak pantas
Aku tertawa tiada batas
Sekarang berubah semua
Kembang-kembang mawar terbuang
Innalillah….

lhwal kegelisahan tentang Madura yang hilang menjadi kegelisahan penulis lainnya. Dalam cerpen “Taresna Tatompang Dhuraka Dusta (Cinta yang Tertutup dengan Sebuah Penyesalan) karya Muhammad Toyu (Jokotole 3, Januari-Juni 2009) menunjukkan sebuah pergeseran nilai yang signifikan di kalangan generasi muda. Gaya pacaran santri yang sudah kelewatan batas, serta tidak adanya rasa patuh pada ibu-bapak dan guru. Namun, tentu saja yang paling urgen adalah menjadikan identitas itu tidak sebagai kerangkeng diri, terlalu fanatik yang akan menjadikan diri sendiri kerdil seperti katak dalam tempurung.

Religiusitas dan Penghormatan Leluhur

Salah satu identitas Madura adalah Islam. Menurut Kusumah (Soegianto, 2003:1). Wijata (2008) juga menegaskan ba hwa sebejat-bejat ora ng Madura, bila disinggung bahwa dia bukan Islam akan merasa tersinggung harga dirinya. Sebagai bukti adanya identitas Islam dalam masyarakat Madura, dapat diindikasikan pada pakaian mereka, yaitu samper (kain panjang), kebaya dan burko (kerudung) bagi kaum perempuan, serta sarong (sarung) dan songko’ (kopiah atau peci) bagi kaum laki-laki. Hal itu adalah Iambang keislaman, khususnya di wilayah pedesaan (Rifai, 2007:446).

Dalam taraf tertentu, Islam memang tidak hanya dipandang sebagai sekadar simbol, tetapi juga penuh dengan penghayatan dan pendalaman ajaran. Dalam beberapa puisi karya penulis generasi mutakhir, unsur religiustitas itu sangat mengemuka. Di antaranya puisi “Kasta” karya Hendry Esto, yang termuat dalam Jokotole edisi 3. Dalam kondisi kemanusiaan yang akut karena berbagai dosa yang mendera, ternyata punjernya tetap saja Sang Pencipta. Berikut ini kutipan bait.

Sakala pon ghujur ngonjhur
Mata ngalembur mapaddhãng kobhur
Atowat nѐtѐnѐ lorong sѐ pon mangkat talѐbãt
Abaliyã posang, nangѐng ta’ kowasa
Marghã adi’ apandi dhusa

(Jokoto/e 3, hal. 35)

Terjemahan:

Tatkala semua sudah runtuh
Mata terbelalak memandang alam kubur
Berteriak menyusuri jalan yang ‘Iah ditempuh
Mau kembali bingung, namun tak kuasa Karena hidup bermandikan dosa

Dalam antologi Nemor Kara, terdapat cukup banyak puisi berunsur religius. Puisi Kurliyadi, “Rebba Adikker” (“Rumput Berdzikir”) memasu religiusitas dengan simbolisasi rumput. Meskipun awalnya dibalut sendu, tetapi arah yang dituju adalah penyebutan nama. ‘Asmaasma-Mu’ dalam sajak itu tentu saja mengarah pada ihwal Asmaul Husna, nama-nama Tuhan yang berjumlah 99. ‘Rumput yang bergerak’ dan ‘rumput yang bergoyang’ adalah alegorissimbolis dari penempuh jalan ilahi. Pendakuan diri sebagai rumput merupakan puiai yang bercitra tidak berguna dan ‘sampah’ telah menumbuhkan sinyal tentang pengetahuan diri menuju sempurna. Kedua alegori itu sebagai pembenar judul: ‘Rumput Berdzikir’. Dalam arti yang lebih luas, bahwa si rumput itu ingat, baik pada dirinya sendiri maupun pada pembuatnya. Jadi yang dizikirkan rumput, bukan hanya masalah bagaimana dia dapat mengenali dirinya sendiri atau juga menyebut ‘asma-asma-Mu’, yang dalam beberapa rujukan suci, baik Al-Quran maupun hadits memang menyimpan sebuah penawar untuk mengenal dan mengasah hati sehingga dapat mengendalikan apa yang diingini dalam di ‘malam’ yang ‘sepi’. Perhatikan kutipan berikut:

Rebba Adikker

Bender, rebbhã sѐ aghuli
La bhusen ngabassaghi arѐ sѐ terros
Ngoncar dãri dãun sѐ ghãgghãr
E bibirrã langngi’ sѐ nangis
Dãrã
“Tapѐ!” sabbrang sѐ la dãddhdi tapay
Bauna gi’ ro’om ka dãlem asma-asma-Na
Se esebbut ban rebba se agoyang

 _______________ 

Jentera, Jurnal Kajian Sastra, Vol 2, no 2 (2013)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.