1. Pergeseran Nilai
Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai filosofis penggunaan celurit bagi masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan simbolisasi figur Pak Sakerah sebagai sosok yang berani melawan ketidak adilan dan penindasan. Namun, keberadaan celurit yang kita rasakan sekarang kenyataanya lebih melambangkan figur blater yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celurit kini telah melambangkan tindakan anarkis, egois dan brutal yang dibuktikan dengan maraknya praktek carok yang dilakukan secara nyelep. Untuk itu, perlu upaya guna meluruskan kembali persepsi yang salah ini.
Dapat diketahui bahwa upaya Belanda untuk merusak citra Pak Sakerah rupanya berhasil merasuki pola pikir sebagian besar masyarakat Madura dan menjadi falsafah hidupnya. Apabila ada permasalahan menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan penyelesaian yang dianggap paling baik adalah melalui carok dengan menggunakan celurit.
Istilah yang sering dipakai adalah : “ango’an poteya tolang etembang poteya mata”, artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu. Istilah lainnya yang dipakai yaitu Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura (Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura); oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan); ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]), lokana daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambana kajabana ngero’ dara (jika daging yang terluka masih bisa diobati atau dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah). Ungkapan-ungkapan ini yang kemudian mendukung eksistensi carok dimana senjata yang digunakan selalu celurit. (Wiyata, 2002).