Tinjauan Sejarah Mengenai Kemunculan Carok dan Celurit dalam Budaya Madura

Kemunculan celurit menurut kisah Pak Sakerah ini terdapat kesesuaian dengan hasil penelitian De Jonge yang dikutip oleh A. Latief Wiyata. (Wiyata, 2002). De Jonge mengutip laporan seorang asisten residen di Bangkalan, Brest van Kempen, yang menyatakan bahwa antara tahun 1847 – 1849, keamanan di pulau Madura sangat memprihatinkan mengingat hampir setiap hari terjadi kasus pembunuhan. Bandingkan dengan kisah Pak Sakerah dan peristiwa kekacauan yang terjadi setelah beliau wafat, dimana menurut catatan sejarah juga terjadi pada awal abad 18. (Abdurachman, 1979).

De Jonge juga memaparkan laporan lain dari arsip pemerintahan kolonial yang menunjukkan bahwa banyak terjadi kasus pembunuhan pada masa itu. Pada tahun 1871 di Sumenep tercatat satu kasus pembunuhan untuk 2.342 jiwa. Untuk mengatasi hal ini pemerintah kolonial bukan saja memperkuat tenaga pelaksana hukum dan polisi tetapi juga mengeluarkan larangan membawa senjata tajam.

Munculnya tindakan kekerasan dalam angka yang sangat tinggi tersebut paling tidak diakibatkan oleh dua hal. Pertama, kekurang perhatian pemerintah pada waktu itu terhadap masyarakat Madura. Kedua, sebagai konsekuensi dari penyebab pertama, masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau konflik pribadi selalu diselesaikan dengan cara mereka sendiri yaitu dengan carok. Senjata tajam yang sering digunakan dalam aktifitas ini yaitu celurit. Larangan membawa senjata tajam yang dikeluarkan pemerintahan kolonial menunjukkan banyaknya orang Madura yang ”nyekep” (membawa senjata tajam). Ini berarti kebiasaan nyekep baru dimulai pada waktu itu dimana kondisi keamanan Madura sangat memperihatinkan saat itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.