Sultan Abdurrahman Sahabat Stamford Raffles

Ir Zein MPW, dosen arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang saat itu mengungkap pertama kali keberadaan nama Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat dalam buku The History of Java, menjelaskan bahwa Raffles dalam bukunya setebal hampir tiga meter itu tidak pernah menyebut nama raja-raja lain di Pulau Jawa. Yang disebutnya hanya Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat.

Hanya saja, Raffles tidak menyebut secara khusus bahwa Sultan berasal dari Sumenep, karena Madura saat itu dalam beberapa literatur, disebutnya sebagai Ekor Pulau Jawa. Sama seperti halnya penyebutan oleh Helene Bouvier, sarjana etnologi Universite de Paris (Prancis), yang tidak menyebutnya Madura, tapi sebagai Ekor Pulau Jawa.

Kepiawaian lainnya Sang Sultan—yang hingga kini terawat dan mendapat perhatian khusus dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta—yakni 17 judul kitab ukuran tebal tulisan tangan Sultan. Itu merupakan karya besar kitab-kitab klasik yang bisa disaksikan di Museum Sumenep hingga kini, berjudul seperti Hizbul Watan, Jihad Sabilillah, dan Minhajul Qowwin.

Huub De Jongnge, pakar sejarah asal Belanda yang lama bermukim di Madura untuk kegiatan penelitiannya, menuturkan, pada kesempatan hari jadi Kota Sumenep dua tahun silam bahwa prinsip keterbukaan masyarakat Madura, khususnya Sumenep, tecermin dari pemimpin kerajaan pada saat itu. Terbukti, Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat ternyata bisa bersahabat dengan Raffles dan bisa menerima Law Phia Ngo menjadi arsitektur tempat ibadah Muslim Sumenep hingga kompleks kuburan sesepuhnya.

Orang Madura menjadi keras dan brutal. Menurut dia, manakala terkait dengan sirri, cemburu karena agama, misalnya, simbol-simbol agamanya dihina, istri diganggu, dan harga diri mereka diinjak-injak secara tidak adil.

“Orang Madura sama saja dengan bangsa Indonesia lainnya. Yang berbeda dari mereka adalah sangat reaktif jika masalah sirri,” ujar Hub De Jongnge. Hal itu dilatarbelakangi kehidupan orang Madura yang berada di kawasan pulau tandus berkapur sehingga alam menempanya dengan keras pula. ■ k1, ed: asep nurzaman (Republika  Ahad, 22 Agustus 2010)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.