Pulau Kangean: Dari Tanah Pembuangan Menjadi Negeri Multikultural di Ujung Timur Madura

Pulau Kangean pandangan dari atas
Pulau Kangean pandangan dari atas

Di Timur Laut, Tempat Angin dan Waktu Berjumpa

Di ujung timur Madura, tempat laut berwarna biru tua memeluk langit yang sepi, berdirilah Pulau Kangean — sepotong daratan yang seolah terpisah dari hiruk-pikuk dunia, namun justru menyimpan denyut sejarah yang tak pernah berhenti bergetar.

Di sinilah laut tidak hanya menjadi batas, tetapi juga penghubung.
Angin membawa kisah dari negeri jauh, ombak menuturkan rahasia masa silam.
Dan di tengah segala keterpencilan itu, manusia membangun peradabannya — dengan tangan yang pernah dibuang, tapi hati yang memilih bertahan.

Kangean adalah kisah tentang keteguhan, keberagaman, dan harapan — pulau yang pernah menjadi tempat pembuangan, namun kini menjadi simbol kebersamaan dan kekayaan budaya yang hidup.

Awal Mula: Dari Tanah Pembuangan Menjadi Tanah Harapan

Pada masa kerajaan-kerajaan di Sumenep, Pulau Kangean dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik dan kriminal.
Mereka yang menentang kekuasaan atau melanggar hukum di daratan Madura akan dikirim jauh ke pulau ini — tempat di mana laut menjadi pagar alami yang sulit ditembus.

Namun takdir berubah.
Para buangan itu tidak tenggelam dalam keterasingan. Mereka hidup, beranak, dan membangun komunitas baru bersama penduduk asli.
Dari percampuran Cina, Sulawesi, Arab, Jawa, Sunda, hingga Madura, lahirlah masyarakat Kangean yang multikultural dan terbuka terhadap perbedaan.

Pulau yang dahulu identik dengan pengasingan, kini justru menjadi tanah pertemuan peradaban.

Jejak Majapahit: “Ngaliyao” di Catatan Lama Nusantara

Kangean sudah dikenal jauh sebelum masa kolonial.
Dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-14, Kangean disebut sebagai “Ngaliyao”, termasuk dalam wilayah “Daerah I” bersama Jawa dan Madura.
Catatan itu menunjukkan bahwa sejak masa Majapahit, pulau ini telah menjadi bagian dari jaringan maritim dan politik kerajaan besar Nusantara.

Ngaliyao bukan tanah asing, melainkan simpul penting dalam sejarah pelayaran dan perdagangan timur Jawa.

Kisah Keberanian: Melawan Bajak Laut dari Bukit dan Lembah

Laut di sekitar Kangean tak hanya membawa rezeki, tapi juga ancaman.
Dalam cerita rakyat setempat, disebutkan bahwa bajak laut kerap datang menjarah pesisir.
Namun masyarakat Kangean tidak gentar — mereka melawan dengan keberanian dan kecerdikan.

Mereka lalu membangun pola permukiman yang unik:

  • Dera’ (atas bukit) untuk pengawasan,
  • Paseser (pesisir) untuk berdagang,
  • Lembe (lembah) untuk bertani dan bersembunyi.

Pola itu menjadi strategi bertahan hidup dan cermin kecerdikan lokal.
Hingga kini, jejaknya masih terlihat dalam struktur kampung-kampung Kangean yang berundak dan berpola alami mengikuti kontur alam.

Kehidupan Spiritual: Kuburan Keramat dan Air yang Tak Pernah Kering

Di Pulau Mamburit, berdiri kuburan keramat Bhuju’ Mamburit, yang dipercaya sebagai makam kepala Sajid, seorang penyebar agama Islam yang terdampar di laut.
Makam ini menjadi tempat ziarah dan simbol awal masuknya Islam di Kepulauan Kangean.

Ada pula Sendang Olbha’, mata air tawar yang mengalir langsung ke laut.
Airnya tetap segar meski bercampur air asin — dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dan membawa keberkahan.

Bagi masyarakat Kangean, sendang itu bukan sekadar sumber air, tapi juga sumber keyakinan bahwa alam dan manusia saling menjaga.

Bahasa dan Budaya: Campuran Lidah dari Banyak Dunia

Bahasa Kangean adalah warisan paling hidup dari sejarah percampuran etnis di pulau ini.
Sekilas terdengar seperti bahasa Madura, namun struktur dan pengucapannya sangat berbeda, bahkan sulit dipahami oleh penutur Madura dari daratan.
Di dalamnya terselip unsur Jawa, Melayu, Bugis, dan Arab, mencerminkan sejarah panjang interaksi lintas budaya.

Selain bahasa, nilai-nilai sosial masyarakat Kangean juga menegaskan semangat multikulturalisme.
Mereka tidak membeda-bedakan agama, profesi, atau status sosial.
Kehidupan dijalani dalam kesederhanaan dan toleransi yang tinggi.

Oreng Kangean tak jek ngalah, tapi tak jek nyalah.
(Orang Kangean tidak suka menyerah, tapi juga tidak suka menyalahkan.)

Ungkapan ini menggambarkan karakter orang Kangean: tangguh, rendah hati, dan penuh empati.

Masa Kolonial: Jejak Belanda dan Jepang di Arjasa

Seiring waktu, Kangean juga mengalami masa kolonial.
Pada abad ke-19, Belanda menjadikannya bagian dari wilayah administratif bernama Nederlandsch-Kangeansch, sebelum akhirnya Jepang datang dan menamainya カンゲアン (Kangean).

Di masa pendudukan itu, lapangan alun-alun Arjasa pernah dijadikan landasan helikopter dan pos militer.
Kini, sisa peninggalan tersebut menjadi bagian dari memori kolektif — pengingat bahwa pulau kecil ini juga pernah menjadi saksi gejolak dunia.

Kekayaan Alam: Anugerah dari Laut dan Bumi

Pulau Kangean dikenal kaya sumber daya alam.
Cadangan gas dan minyak bumi di wilayahnya menjadi salah satu yang penting di Jawa Timur.
Selain itu, laut Kangean melimpah dengan ikan pindang, kopra, rumput laut, dan kayu — menjadi tumpuan ekonomi masyarakat setempat.

Kehidupan orang Kangean menyatu dengan alam.
Mereka memanfaatkan hasil laut dengan bijak, menanam pohon kelapa untuk kopra, dan menjaga hutan agar tetap lestari.
Inilah bentuk keseimbangan yang diwariskan turun-temurun antara kerja keras dan rasa syukur.

Kangean, Cermin Kecil Nusantara

Hari ini, Pulau Kangean bukan sekadar titik terpencil di timur Madura.
Ia adalah miniatur Nusantara — tempat beragam suku, bahasa, dan kepercayaan berpadu dalam harmoni.

Dari tanah yang dahulu menjadi buangan, lahirlah masyarakat yang kuat dan berakar.
Dari laut yang dahulu mengasingkan, tumbuhlah jembatan yang menyatukan.

Kangean mengajarkan bahwa dari keterasingan pun bisa tumbuh peradaban — dari luka lahir keindahan, dari perbedaan lahir kebersamaan.

Pulau Kangean — Laut yang Menyimpan Waktu, Tanah yang Menyimpan Jiwa.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.