Pemerintah mengambil berbagai macam tindakan untuk menolong kaum ningrat yang kejatuhannya sebagian diakibatkan oleh peraturan-peraturan Belanda. Tetapi tam- paknya kaum ningrat kurang menghargai tindakan pemerintah itu. Bukan saja kemunduran ningrat menimbulkan masalah-masalah sosial, tetapi hal itu juga mengurangi kewibawaan pemerintah dan membahayakan penduduk Belanda sendiri.
Laporan pertama mengenai pemberontakan kaum ningrat datang dari Pamekasan. Tahun 1868, sepuluh tahun setelah Pamekasan diambil oleh Belanda, pemerintah melihat tanda-tarida keresahan di antara kaum ningrat. Puncak dan ketegangan-ketegangan itu adalah rencana pembunuhan yang melihatkan dua ningrat Pamekasan. Yang terbunuh adalah istri seorang pendeta Belanda.(1) Para anggota komplotan diadili dan dan dijatuhi hukurnan mati. Walau tidak ada lagi gangguan keamanan di Pamekasan, penduduk Belanda dan pemerintah lokal cemas dengan adanya “komplotan kaum ningrat” ini.(2)
Di Bangkalan juga terdapat “komplotan ningrat” ini dalam tahun 1883 ketika dilakukan reorganisasi kadipaten. Dalam hal ini komplotan ditujukan kepada penguasa pribumi dan pemerintah Belanda. Penyehab timbulnya komplotan ini adalah persaingan memperebutkan kursi adipati Bangkalan yang dibentuk pada tahun 1885. Yang terlibat disini adalah seorang ningrat dengan dua orang putranya. Walau komplotan ini hanya melakukan kejahatan-kejahatan kecil seperti menulis surat kaleng yang mengecam Residen Belanda dan Asisten Residen, calon adipati dan ibundanya, pemerintah Belanda khawatir akan kejadian-kejadian selanjutnya. Pengadilan menghukum buang si ayah dan memecat seorang putranya dari Barisan. Sedang putra Iainnya dibebaskan. (3)
Walau tidak terjadi gangguan nyata, pemerintahan Belanda mencurigai kaum rungrat. Pada tahun 1888, seorang pangeran Bangkalan dicurigai mempersiapkan pemberontakan. Dia dilaporkan membagikan jimat kepada kerabat dan tetangga-tetangganya.(4) Dalam tahun 1890, pemerintah mencurigai adanya persekutuan antara kaum ningrat dan para ulama di Sumenep. Kecurigaan itu bukannya tanpa alasan, karena pertama-tama, ningrat Sumenep sangat religius dan kedua, kaum ningrat sekarang mendekati kaum ulama. Terdapat juga tanda-tanda kebangkitan religius, yang diakibatkan oleh gerakan Tarekat Naksabandiyah, terutama di Bangkalan. Di Bangkalan banyak keluarga ningrat yang mengikuti gerakan ini. (5)
Belanda semakin sibuk dengan masalah yang disebut masalab ario (ningrat). Dilakukan upaya untuk memperbaiki kehidupan mereka, tetapi tidak berhasil. Laporan-laporan kelakuan buruk para ario terhadap rakyat biasa sangatlah banyak, tetapi pemerintah enggan menindak mereka. Sebaliknya Belanda menghormati gelar mereka dan status sosial yang menyertainya. Dalam semua acara pemerintah maupun acara umum, mereka harus diberi tempat duduk yang sesuai dengan gelar mereka, demikian pula dalam semua bentuk surat-menyurat. Bahkan orang-orang Belanda lebih terpesona dengan segala macam gelar-gelar itu dibanding kaum ningrat sendiri.
Di pihak lain, Belanda mencampuri sistem status tradisional dengan menghadiahkan gelar-gelar kehormatan kepada pejabat-pejabat pemerintah.(6) Praktek ini dimaksudkan untuk meninggikan status mereka sehingga tugas-tugas administratif mereka lebih efektif. Meskipun rakyat mulai memandang bahwa jabatan sebagai pegawai Iebih terhormat ketimbang gelar-gelar ningrat.(7) Menjelang akhir abad kesembilan belas muncullah suatu kelas sosial baru, yaitu para pejabat pemerintahan kaum priayi. (8). Dibanding dengan kaum priayi pemerintah ini kaum sentana terlihat ketinggalan. Kaum priayi diambil dari kelas terpelajar yang didasarkan atas persyaratan rasional, bukannya keturunan. Namun karena pernerintah terus berusaha menolong kaum ningrat, maka terlihat tanda-tanda adanva kontinum sentana-priayi.
Perubahan dan Kontinuitas
Reformasi adminjstratif Belanda itu mengubah, tetapi juga mempertahankan organisasi tradisional dan sosial. Pemerintah menghapus kabupaten, tetapi mempertahankan institusi agromanagerial karena masalah keuangan tetap bergantung pada sumber daya pertanian. Maka kembali pemerintah menjadi pusat pengeksploitasian sumber daya. Dalam hal ini, birokrasi patrimonial dan birokrasi kolonial tidak banyak berbeda sehingga bisa disebut adanya kontinum patrimonial-kolonial.
Pengalihan kekuasaan dan penguasa pribumi ke pemerintah Belanda tidak banyak mengubah personal birokrasi pribumi. Dimasa lalu para penguasa pribumi selalu menunjuk pejabat-pejabat administratif penting dari kalangan ningrat, demikian pula Belanda melakukan kebijakan yang sama sehingga terdapat semacam kontinum ningrat-birokrasi dalam ruang dan waktu. Tetapi terdapat pergeseran dalam tata cara karena sekarang dalam pemerintahan lebih banyak kaum priayi ketimbang kaum sentana. Namun segera terjadi kecenderungan baru yang menghentikan pergeseran ini. Belanda biasa menghadiahkan gelar ningrat kepada priayi nonningrat sehingga bannyak priayi-ningrat ini yang kemudian mengambil tata cara dan simbol-simbol ningrat. Reformasi administratif Belanda telah menghindarkan organisasi sosial tradisional dari kepunahan ditangan kaum kapitalis merkantil. Ini berarti administrasi kolonial menghentikan proses historis dan membelokkan arahnya untuk kepentingannya sendiri. Bagi kelas penguasa, pemerintab Belanda bertindak sebagai penghancur dan penyelamat.
Catatan :
- Sourabaja Courant, 11 Februari 1868 No. 34.
- Exhibitum 22 November 1869 No. 148 Geheim, Gubemur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 13 Oktober 1869 No. 2/5.
- Vb. 8 Januari 1884 No. 81, Residen van der Tuuk kepada Gubemur Jenderal, 17 November 1883, dan BesluitGubern ur Jenderal, 17 November 1883.
- Algemeen Versiag. 1888.
- Algerneen Versiag. 1889.
- Gelar ningrat yang paling umum diberikan adalah mas dan raden. Lihat misalnya Besluit 14 Oktober 1892 No. 4/ 23.
- Vb. 16 November 1893 No. 8, Controller E.F. Jochim kepad a Residen, Parnekasan, 10 Oktober 1892 No. 4/23.
- lstilah priai atau priayi sudah dipakai dalam tahun 1890 untuk membandingkan sentana yang jatuh itu dengan orang-orang kebanyakan. Lthat, 1/b. 5 Juli 18-90 No. 73, Ketua Pengadilan Pamekasan dan Sampang, D. Mulder, kepada Residen, Pamekasan, 3 April 1890. Kemudian istilah itu berlaku untuk semua personal dalam dinas pegawai negeri, pengadilan urusan agama, pendidikan kesehatan, dan bahkan departemen penjualan candu. Lihat pemakaian priaiji dalam bahasa resmi, rnisalnya dalam peraturan ronda priayi (tugas ronda pegawai di atas tingk atan desa), dalarn Mr. 1006/1918, Vb. 13 Agustus 1918 No. 1, Residen Hoedt kepada Direktus Pemerintahan Negeri, Parnekasan, 12 Juni 191.7 No. 8792/4.
tulisan sebelumnya : Kemunduran Kaum Ningrat Madura