Nikmati Kesegaran Alam Pulau Gili Iyang Sumenep.

PETA PULAU GILI IYANG Bagi mereka yang suka traveling, Kabupaten Sumenep tampaknya akan banyak memberikan penawaran menarik. Banyak pilihan yang mungkin menjadi pertimbangan kepariwisataan yang sekedar menikmati keunikan dan kenyamanan berwisata, baik wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah, wisata religi, dan ragam tradisi masyarakat setempat sebagaimana banyak diangkat di laman ini.

Salah satu diantaranya, yaitu eksotisme Pulau Gili Iyang (masyarakat setempat menyebut Giliyang, dan sebelumnya beranama Gili Elang), yang akhir-akhir ini mulai terangkat ke permukaan lantaran di pulau ini menurut Balai Besar Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jatim ketika melakukan pembuktian kandungan oksigen di pulau ini memiliki kandungan oksigen 21,5 persen atau di atas rata-rata 20 persen, dengan mengambil beberapa sampel, seperti, air laut, ikan, udara dan memeriksa 20 warga yang berusia 80 tahun ke atas. Bahkan ditemukan ada sejumlah orang memiliki usia sampai 175 tahun.

Untuk kadar oksigen 21,5 persen, CO2 mencapai 265 ppm, ambang batas 387 ppm dan tingkat kebisingan 36,5 db. Jadi kondisi oksigen ini berada di atas mutu normal, jadi bagus untuk kesehatan

Maka tak heran di pulau ini, kerap disebut-sebut sebagai “Pulau Awet Muda”. Memang udara alam di tempat ini, cukup sejuk dan segar, meski di pulau tidak terdapat perbukitan atau gunung. Alamnya terbaku dari seluruh arah.

pelabuhan-bancamara
Perahu sandar di pelabuhan Bancamara (foto: Koran Sindo)

Keistimewaan udara di pulau tersebut diketahui tahun 2006 lalu. Saat ini, peneliti di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mendapati dari pantauan satelit bahwa kandungan oksigen di pulau tersebut cukup tinggi. Akhirnya LAPAN melakukan penelitian selama tiga bulan di tempat itu dengan menebar delapan alat pengukur kandungan oksigen di udara.. Bahkan sekali waktu, ketinggian kandungan oksigen di tempat itu mengalahkan salah satu daerah di Yordania yang juga memiliki kandungan oksigen cukup tinggi.

Penyebab kandungan oksigen yang cukup tinggi itu karena pengaruh perputaran udara dari laut sekitar pulau itu. Kawasan Pulau Gili Iyang itu masih belum banyak pencemaran udara, kawasannya masih alami dan bersih.

Memang salah satu pendorong kesehatan udara di pulau ini, terdapat banyak gua (menurut catatan ada 17 gua), tebing-tebing bibir pantai yang waktu sebelumnya terdapat juntaian pohon santeki (santigi), namun ketika boming masyarakat terhadap pohon bonsai, pohon yang keras dan memposona itu, akhirnya dibabat habis demi angkat puluhan juta ripiah.

BATU KARANG PANTAI GILI IYANG
Hamparan batu karang di pantai Pulau Gili Iyang (foto: @SlameTux)

Selain itu, panorama pantainya sangat indah menawan dan terdapat hamparan batu karang bertaburan serta semakin asyik ketika menikmati matahari terbit dan matahari tenggelam, tentu pula apalagi pada saat-saat bulan purnama, cahaya bulan akan lebih terang menderang diantara celah-celah pepohonan.

Masyarakatnya yang ramah, sederhana serta mempertahakan tradisi lingkungan itu, tampaknya akan memberikan suasana baru ketika orang-orang setelah berhadapan sekian formalitas hidup dalam sebuah keramaian kota.

Menuju Gili Iyang tidaklah sulit, dari Pelabuhan Dungkek (Kecamatan Dungkek), sekitar 28 km dari pusata kota Sumenep, kemudian naik perahu (mesin) hanya memakan waktu – 1 – 1,5 jam perjalanan tiba di Pelabuhan kecil Bancamara, Gili Iyang. Sesampai didarat, pertama yang dirasakan udara sejuk langsung menyeruak masuk hidung hingga terasa segar di dalam paru-paru. Memang, sangat terasa perbedaan udara di Pulau Gili Iyang dengan udara di daerah lain, terlebih lagi udara di kawasan perkotaan terkontaminasi asap kendaraan bermotor, asap pabrik, dan kepengapan pantulan dari gedung-gedung raksasa.

Dari pelabuhan ini, masyarakat sertempat akan siap mengantar kemana arah yang diinginkan, menuju wisata gua yang unik, pantai atau sekedar menikmati udara segar di sepanjang pelosok desa. Meski tidak adanya alat transportasi mobil, namun kendaraan roda dan tiga masih tersedia. Tapi akan jauh lebih menarik lagi bila dijalani dengan langkah kaki, karena dalam suasana udara yang segar, tidak akan terasa kelelahan, karena luaspulau ini hanya 921.2 Ha

Selain itu si pulau ini terdapat gua yang eksotik seperti Gua Air, yang terletak di Desa Bancamara, termasuk gua cukup luas dengan kedalaman sampai 150 meter. Dalam gua ini terdapat sumber mata air, dan justru meski berdekatan dengan pantai, namun airnya tawar dan menyegarkan.

Gua Syarifah, biasanya setiap tiba bulan Ramadhan sering dikunjungi anak-anak muda sambil menunggu waktu berbuka (ngabuburit). Selain itu terdapat pula Gua PetapaKelompang di Dusun Baru, Desa Banraas, yang dulunya sering dijadikan sebagai tempat bertapa oleh para leluhur, disamping Gua Mahakarya, yang memiliki ornamen stalastik dan stalakmit yang unik.

Sejarah Pulau Gili Iyang sendiri ini pertama kali ditemukan oleh orang Mandar yang bernama Daeng Masaleh pada tahun 1926, Daeng Masaleh merupakan orang yang pertama kali membuka jalan dan membabat hutan di Pulau Gili Iyang. Menurut tetua di Pulau Giliyang, Daeng Masaleh datang dari Pulau Sulawesi dengan dituntun oleh Ikan Hiu hingga akhirnya menemukan daratan pulau.

Daeng Masaleh pertama kali mendarat di ujung utara Pulau Giliyang namun segera berpindah ke bagian barat karena terdapat wabah kusta di lokasi tersebut, setelah berpindah ke bagian barat kemudian Daeng Masaleh menetap di bagian Timur Pulau yang sekarang dikenal sebagai wilayah Desa Bancamara hingga akhirnya berkembang pemukiman penduduk dan banyak penduduk asli Madura yang pindah di pulau Gili Iyang.

TULANG IKAN PAUS GILI IYANG
Fosil ikan paus yang terdampar di pantai Pulau Gili Iyang (foto:plat-m.com)

Ada dua pendapat tentang asal muasal nama pulau ini, yang pertama adalah Gila Iyang yang artinya gila dari nenek moyang mereka. Konon dahulu pulau ini merupakan pulau yang dijadikan sebagai tempat pembuangan orang gila. Yang yang keduadisebut dengan nama Gili Elang atau Pulo Elang(Madura) punya arti pulau yang hilang, karena pada zaman penjajahan Belanda dahulu, pulau ini merupakan pulau yang tidak ditemukan/ hilang sementara pulau-pulau disekitarnya telah ditemukan terlebih dahulu. Dari hasil verifikasi Tim Pembakuan Nama Rupabumi Tahun 2006 kemudian nama pulau ini dibakukan menjadi Gili Iyang Giliyang) yang telah dikenal oleh masyarakat di Sumenep.

Seluruh pesisir Pulau Gili Iyang, terdiri bebatuan bercadas (tidak seperti umumnya di Sumenep yang berpasir). Karena itu di pesisir pulau ini terdapat terumbu karang. Secara umum kondisi terumbu karang cukup baik pada bagian barat daya dan tenggara pulau dengan penutupan karang keras hidup yang termasuk dalam kriteria baik, namun pada bagian utara penutupan karang keras hidup termasuk dalam kriteria sedang.

Pada Oktober 2010 pernah terdampar ikan paus besar berukuran 20 meter di pesisir Banraas. Uniknya, tulang bangkai ikan paus itu, kini menjadi “fosil” dari tulang ikan paus. Ironisnya, justru tumpukan tulang-tulang itu dimitoskan oleh masyarakat setempat sebagai tempat yang dikeramatkan. Bahkan kerap terdapat para nelayan meletakkan sesajen dekat tulang itu sebagai ungkapan “terima kasih”, setelah mendapatkan tangkapan ikan.

Menuju sisi timur pulau, terdapat sebuah bukit yang dinamakan Batu Kundang yang memiliki bentuk seperti pilar yang menjulang tinggi. Batu Kundang menjadi lokasi favorit karena di sini wisatawan bisa menikmati matahari terbit. Di sore hari, Batu Kundang juga menjadi tempat bersantai bagi penduduk setempat. Lokasi ini juga menjadi lokasi idaman bagi para pemancing. (dihimpun dari berbagai sumber)

Responses (5)

  1. Bukan Karaeng MUSHALLEH. Tapi Karaeng Masalle. Harap di luruskan. Dan ini bukan perkiraan semata. Tapi ada dasar sejarahnya. Karena tokoh Karaeng Masalle benar-benar ada.

  2. MELURUSKAN PEMAHAMAN
    Daeng karaeng musalleh lahir sekitar tahun 1715 M dan wafat pada tahun 1214 H/ 1793 M, dengan demikian beliau membabat giliyang pada masa sebelum sultan abdurrahman sebab sultan abdurrahman diangkat menjadi adipati sumenep pada tahun 1811 M ( 9 Tahun setelah daeng musalleh wafat) kesimpulan penulis beliau meminda izin kepada ayah dari sultan abdurrahman yaitu raden asiruddin, Sebagian penulis lain yang ada di internet berpendapat bahwa Daeng Karaeng Mushalleh membabat giliyang pada tahun 1926 M, pendapat ini kurang tepat dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut : pertama: Daeng Karaeng Mushalleh merupakan putra dari Sultan Putih pimpinan dari kerajaan Losari di Sulawesi, Sultan Putih di perkirakan hidup sekitar tahun 1755, di tahun 1764-an itu Raja Sumenep berada dalam tumpu kepemimpinan Sultan Asirudin atau lebih di kenal dengan Penambahan Somala, putra bindara Saud ini pernah mengutus pasukannya ke Blambangan dan Makasar untuk menumpas para pemberontak serta membantu para imprealis di sana, kemungkinan besar konflik Losari Toraja yang nantinya mengilhami Daeng Karaeng Mushalleh hijrah kegiliyang terjadi pada tahun ini. Kedua: Daeng Karaeng Mushalleh di giliyang telah menurunkan banyak keturunan di antara Daeng Ahmad Bati Daeng Ahmad Bati mempunyai putra Daeng Sora Difa Daeng Sora Difa mempunyai putra kyai Sora Laksana,dan Kyai Sora laksana mempunyai putra Kyai Asy’ari maka jelas tahun 1926 tidak tepat di jadikan dasar sebagai tahun pembabatan giliyang pertama. Ke-empat: berdasarkan wawancara penulis dengan sesepuh giliyang muajjer namanya di tahun 2011 waktu itu beliau masih belum wafat umur beliau lebih dari 125 tahun ( di perkirakan beliau lahir sebelum tahun 1926), dan beliau hanya mendapati Kyai Sora Laksana berjuang melawan kaum imprealis, padahal Kyai Sora laksana adalah cicit dari Daeng Karaeng Mushalleh. ketiga: Daeng sora Difa atau Daeng Masura alias Muhammad Husein tidak lain adalah cucu Daeng Karaeng Mushalleh, beliau termasuk salah satu panglima perang kerajaan Sumenep pada masa Sultan Abdurrahman ( naik tahta tahun 1811 M), Sultan Abdurrahman pernah mengutus beliau bersama pangeran jimat untuk membantu kaum muslimin di Aceh dalam menghadapi perang sabil.
    kaempat : berdasarkan tulisan yang tertulis dimakam beliau, DI NYATAKAN bahwa beliau wafat pada tahun 1214 H/1793 H.

    1. MELURUSKAN PEMAHAMAN
      Daeng karaeng musalleh lahir sekitar tahun 1715 M dan wafat pada tahun 1214 H/ 1793 M, dengan demikian beliau membabat giliyang pada masa sebelum Sultan Abdurrahman sebab Sultan Abdurrahman diangkat menjadi adipati Sumenep pada tahun 1811 M ( 9 Tahun setelah daeng musalleh wafat) kesimpulan penulis beliau meminda izin kepada ayah dari sultan abdurrahman yaitu Raden Asiruddin ( PUTRA BENDRa SA’UD). Sebagian penulis lain yang ada di internet berpendapat bahwa Daeng Karaeng Mushalleh membabat giliyang pada tahun 1926 M, pendapat ini kurang tepat dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut : pertama: Daeng Karaeng Mushalleh merupakan putra dari Sultan Putay pimpinan dari kerajaan Losari di Sulawesi, Sultan Putay di perkirakan hidup sekitar tahun 1755, di tahun 1764-an itu Raja Sumenep berada dalam tumpu kepemimpinan Sultan Asirudin atau lebih di kenal dengan Penambahan Somala, putra bindara Saud ini pernah mengutus pasukannya ke Blambangan dan Makasar untuk menumpas para pemberontak serta membantu para imprealis di sana, kemungkinan besar konflik Losari Toraja yang nantinya mengilhami Daeng Karaeng Mushalleh hijrah kegiliyang terjadi pada tahun ini. Kedua: Daeng Karaeng Mushalleh di giliyang telah menurunkan banyak keturunan di antara Daeng Ahmad Bati Daeng Ahmad Bati mempunyai putra Daeng Sora Difa Daeng Sora Difa mempunyai putra kyai Sora Laksana,dan Kyai Sora laksana mempunyai putra Kyai Asy’ari maka jelas tahun 1926 tidak tepat di jadikan dasar sebagai tahun pembabatan giliyang pertama. Ke-empat: berdasarkan wawancara penulis dengan sesepuh giliyang muajjer namanya di tahun 2011 waktu itu beliau masih belum wafat umur beliau lebih dari 125 tahun ( di perkirakan beliau lahir sebelum tahun 1926), dan beliau hanya mendapati Kyai Sora Laksana berjuang melawan kaum imprealis, padahal Kyai Sora laksana adalah cicit dari Daeng Karaeng Mushalleh. ketiga: Daeng sora Difa atau Daeng Masura alias Muhammad Husein tidak lain adalah cucu Daeng Karaeng Mushalleh, beliau termasuk salah satu panglima perang kerajaan Sumenep pada masa Sultan Abdurrahman ( naik tahta tahun 1811 M), Sultan Abdurrahman pernah mengutus beliau bersama pangeran jimat untuk membantu kaum muslimin di Aceh dalam menghadapi perang sabil.
      kaempat : berdasarkan tulisan yang tertulis dimakam beliau, DI NYATAKAN bahwa beliau wafat pada tahun 1214 H/1793 H.

      Tulisan terkait : baca disini

    2. Terima kasih. Memang kerap sumber link terjadi “ketidaksamaan kebenaran” peristiwa sumber. Komentar anda kami sepakati sebagai pelurusan informasi data, dengan harapan pembaca yang lain menjadi maklum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.