Museum Cakraningrat Bangkalan, yang terletak di jantung Kota Bangkalan, Madura, merupakan salah satu museum tertua dan paling bersejarah di Pulau Garam. Museum ini berdiri sebagai saksi bisu perjalanan panjang kebudayaan Madura Barat, menyimpan ribuan artefak peninggalan kerajaan, naskah kuno, alat musik tradisional, hingga benda-benda kolonial. Namun, ketenangan museum yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat Madura itu mendadak terusik oleh kabar duka: dua benda peninggalan berharga dilaporkan hilang secara misterius.
Sejarah Singkat Museum Cakraningrat
Museum Cakraningrat berdiri pada tahun 1983 dan diresmikan sebagai pusat pelestarian budaya Madura. Nama “Cakraningrat” diambil dari nama dinasti penguasa Bangkalan di masa lalu—keturunan bangsawan yang memerintah dengan pengaruh besar di wilayah Madura Barat sejak abad ke-17. Pendirian museum ini tidak lepas dari semangat pemerintah daerah untuk menjaga peninggalan sejarah agar tidak punah di tengah modernisasi.
Koleksi museum mencakup berbagai benda bersejarah dari masa Kerajaan Bangkalan dan peninggalan kolonial Belanda. Di antaranya adalah manuskrip kuno, keris pusaka, peralatan upacara adat, pakaian kebesaran raja, hingga alat musik gamelan klasik. Salah satu koleksi yang paling terkenal adalah Gamelan Ratna Dumilah, perangkat gamelan sakral yang digunakan untuk upacara penobatan pejabat keraton di abad ke-18.
Peristiwa Hilangnya Artefak Bersejarah
Pada 4 Agustus 2025, dua artefak penting dilaporkan hilang dari ruang pamer utama museum. Benda yang raib bukan sembarangan: lempengan kuningan pada alat Gamelan Ratna Dumilah dan sebuah lonceng kuno yang sebelumnya sempat dipamerkan di Pamekasan.
Peristiwa ini pertama kali diketahui oleh seorang karyawan museum sekitar pukul 09.00 WIB. Saat melakukan pengecekan rutin, ia mendapati ruang pamer dalam kondisi tak biasa — tempat penyimpanan artefak terbuka, dan dua benda tersebut sudah tidak ada. Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Kabupaten Bangkalan, Hendra Gemma, mengaku sangat terkejut dengan insiden itu.
“Setelah dicek lebih lanjut, ternyata bukan hanya gamelan, tapi juga lonceng kuno itu sudah tidak ada,” ujar Hendra saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon pada Sabtu (11/10/2025).
Kasus ini pun langsung dilaporkan ke Polres Bangkalan. Tim Satreskrim diterjunkan untuk melakukan olah TKP, memeriksa saksi, dan menyelidiki kemungkinan adanya unsur pencurian terencana.
Ketua DPW Laskar Tjakraningrat Madura, Jimhur Saros, menilai peristiwa tersebut sebagai “tamparan keras bagi dunia pelestarian benda sejarah di Madura.” Ia mendesak aparat agar segera bertindak cepat dan tegas. “Polisi memiliki kapasitas dan pengalaman untuk mengungkap kasus ini. Jangan sampai benda sejarah yang menjadi identitas Bangkalan justru lenyap karena kelalaian,” tegasnya.
Menurut Jimhur, pencurian ini tampak dilakukan secara rapi dan sistematis, bahkan kemungkinan besar melibatkan orang dalam. Hal itu terlihat dari lokasi penyimpanan artefak yang merupakan ruang tertutup dan hanya bisa diakses oleh pihak tertentu.
Kondisi Museum dan Tantangan Pelestarian
Museum Cakraningrat sejatinya menjadi pusat edukasi sejarah yang penting di Madura Barat. Bangunannya bergaya kolonial sederhana dengan arsitektur khas masa Hindia Belanda, lengkap dengan halaman luas dan ruang pameran berlapis kaca. Namun, di balik kemegahannya, kondisi museum selama beberapa tahun terakhir memang mengalami penurunan perawatan.
Beberapa ruang pamer mulai tampak kusam, pencahayaan kurang memadai, dan sistem keamanan belum sepenuhnya modern. Sejumlah pengamat kebudayaan menilai bahwa lemahnya sistem pengamanan menjadi salah satu penyebab rentannya pencurian artefak.
Kendati demikian, museum ini masih menjadi destinasi edukatif bagi pelajar dan peneliti sejarah. Setiap bulan, puluhan siswa sekolah di Bangkalan dan sekitarnya berkunjung untuk mempelajari sejarah lokal. Banyak masyarakat yang masih menaruh kebanggaan besar terhadap keberadaan museum ini, karena dianggap sebagai rumah bagi identitas budaya Madura.
Perhatian Pemerintah dan Respons Masyarakat
Pemerintah Kabupaten Bangkalan melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyatakan akan memperkuat pengawasan dan meningkatkan sistem keamanan di museum. Kepala Dinas Disbudpar juga menyebutkan rencana pembaruan digitalisasi koleksi agar data benda bersejarah lebih mudah dilacak jika terjadi hal serupa di masa mendatang.
Di sisi lain, masyarakat Madura, khususnya para budayawan, menunjukkan kepedulian tinggi terhadap peristiwa ini. Sejumlah komunitas sejarah lokal bahkan menggelar doa bersama dan aksi simbolik menyalakan lilin di depan museum sebagai bentuk kepedulian terhadap hilangnya dua artefak tersebut.
Seorang pegiat budaya Bangkalan, Mohammad Ridwan, mengatakan bahwa kehilangan dua benda bersejarah ini adalah “kehilangan jati diri.” Menurutnya, artefak bukan sekadar benda, tetapi simbol kebanggaan dan pengingat bahwa Madura memiliki sejarah panjang yang harus terus dirawat.
Harapan untuk Masa Depan
Kasus hilangnya dua artefak berharga di Museum Cakraningrat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak tentang pentingnya menjaga warisan budaya. Pemerintah daerah diharapkan tidak hanya memperbaiki sistem keamanan, tetapi juga membangun kesadaran publik tentang pentingnya museum sebagai penjaga sejarah.
“Gamelan dan lonceng itu bukan sekadar benda mati,” ujar Jimhur Saros. “Mereka adalah saksi bisu peradaban Madura. Jika hilang, hilang pula sebagian dari memori sejarah kita.”
Harapan besar kini tertuju pada aparat kepolisian agar mampu mengungkap kasus ini secepat mungkin, serta pada pemerintah untuk memperkuat komitmennya dalam menjaga dan merawat peninggalan sejarah. Masyarakat Madura, dengan semangat gotong royong dan kecintaannya pada budaya, diharapkan terus menjadi penjaga moral bagi keberlangsungan warisan leluhur mereka.
Museum Cakraningrat Bangkalan, meski sedang dirundung duka, tetaplah simbol kebanggaan sejarah Madura Barat. Ia bukan hanya tempat penyimpanan benda tua, tetapi jendela masa lalu yang menghubungkan generasi kini dengan akar budaya yang kuat dan luhur.