Diantara budaya yang berkembang dikala ngan primitif adalah membakar keminyan ketika akan memulai ritual tahlilan ataupun ketika meres mikan tempat tinggal. Membakar keminyan diyakini sebagai warisan budaya orang-orang Hindu-Bu dha, mereka (Hindu-Budha) telah terbiasa meng gunakan keminyan ketika akan melaksanakan ri tual keagamaan yaitu menyembah dewa-dewa yang dianggapnya mampu memberikan manfaat dan mendatangkan mudharat
Dengan keminyan mereka juga berkeyakinan bahwa permintaannya akan didengar sekaligus dikabulkan oleh dewa-dewanya, sebab keminyan yang mereka perguna kan mampu menghipnotis dewa-dewa itu dengan aroma keminyan yang dianggap suci.
Budaya semacam itu oleh orang-orang primitif tetap dipelihara tetapi tidak diikuti dengan keya kinan-keyakinan sebagaimana mereka (Hindu-Budha) yakini, masalahnya keyakinan semacam itu bagi umat Islam sangat menyalahi aturan dan itu tidak boleh dipraktekkan. Membakar keminyan sebelum ritual tahlilan bagi orang primitif tidak diya kini bahwa wangi keminyan itu yang pertama kali didengar oleh orang yang berada dialam kubur me lainkan hal demikian tidak lebih dari sebuah jargon bahwa tahlilan telah siap dimulai.
Dalam artian pra kata shahibul hajah telah terwakili oleh wangi kemi nyan tersebut. Demikian juga peresmian tempat tinggal (rumah), pembakaran keminyan tidak diya kini sebagai symbol pengusir roh-roh jahat, atau pun menyelamatkan aneka bahaya dalam tempat tinggal tersebut melainkan hanya sekedar symbol bahwa tempat tinggal telah siap ditempati. Al-hasil budaya semacam itu tidak patut dipermasalahkan sekalipun warisan tersebut terlahirkan dari orang Hindu-Budha. Yang patut dipermasalahkan adalah budaya primitif yang jelas-jelas dibackground-ni Islam.
Mengapa penulis mempermasalahkan budaya yang dilahirkan dari rahim Islam ? dikalangan primitif ada semacam perkumpulan yang diisi dengan bacaan-bacaan baik (Kalimat thayyibah), kita sepa kat bahwa bacaan tahlil dan shalawat sebagai lam bang dzikir kebesaran, dzikir yang dipelopori oleh Rasulullah sebagai wahana untuk mendekatkan diri kepada sang Khaliq.
Sudah barang tentu kede katannya kepada sang Khaliq memudahkan mereka untuk meminta apa saja yang mereka inginkan se bab mereka telah mendapat perlakuan khusus dari sang Khaliq. Namun yang haros digaris bawahi adalah pemanjaan itu akan dilakukan oleh sang Khaliq manakala dzikir kebesaran itu diimplementasi kan dengan kekhusyukan sesuai dengan tatanan Islam. Pemanjaan tersebut tidak diberikan kepada mereka yang selalu bergurau dalam mengimplemen tasikannya.
Dari fenomena yang ada, implementasi budaya primitif yang dilahirkan dari rahim Islam tidak sejalan dengan aturan Islam, budaya itu lebih di praktekkan dengan hiasan tawa, gurau, cubitan dan lainnya, kekhusyukan yang telah menjadi ke sempatan untuk diterimanya amalan sedikitpun tidak tersentuh, mereka lebih memilih cara-cara yang mereka inginkan sesuai dengan kata naf sunya.
Karena itu penulis bisa mengkongklusikan bahwa budaya apapun saja baik yang dilatarbelakangi oleh Islam ataupun non Islam boleh dipelihara dan dilestarikan asal dengan niatan yang baik tidak me langgar aturan yang telah diatur oleh Islam. Niat yang baik sekalipun dalam kejahatan akan meng hasilkan kebaikan, begitupun niat jahat sekalipun dalam kebenaran akan melahirkan kejahatan.
Oleh karena itu, mari mulai sekarang kita sa tukan tekad untuk tidak memilih dan menulah wa risan nenek moyang. Apapun bentuk warisan itu kita aplikasikan dengan niatan baik dan ikhlash tan pa mempermaslahkan latar belakang warisan terse but. Sebab Islam yang kita yakini adalah agama yang lebih mengedepankan kemaslahatan ummat.