Terlepas benar tidaknya legenda Diponegoro dalam folklor Sumenep, hal ini sudah membuktikan tentang adanya mentalitas keberpihakan orang Madura terhadap Belanda seperti yang ditunjukkan militer Madura dalam Barisan dan juga sebagian raja-rajanya. Mentalitas inilah yang dalam studi budaya sering disebut mentalitas inlander, dimana seorang rakyat atau penguasa harus bermental pamongpraja dan mau mengabdi utuh kepada kekuasaan tuannya. Mentalitas inlander dalam sejarah Madura telah melanggengkan kolonialisme pikiran yang ditanamkan hidup-hidup dalam otak sebagian rakyat Madura. Mentalitas ini telah meminta korban yaitu dihabisinya perlawanan jihad fi sabilillah yang digemakan Kyai Semantri Prajan untuk melawan kafir Belanda.
De Jonge bahkan menyebut bahwa gelar Panembahan dan Sultan yang diberikan Belanda kepada para Regen (bupati) di Madura sebenarnya gelar kehormatan yang diberikan atas “jasa baik” membantu Belanda memadamkan perlawanan rakyat di berbagai daerah di Nusantara. Gelar Sultan di Madura ini berbeda dengan gelar Sultan yang diterima raja-raja lain di Nusantara. Dimana gelar Sultan di Nusantara umumnya diberikan oleh Syarif Mekkah (Azyumardi Azra:1994). Sementara gelar Sultan di Madura diberikan oleh Belanda. Hal ini terjadi karena secara otoritatif, wilayah Madura sebenarnya termasuk wilayah Mataram. Artinya, Syarif Mekkah sebagai otoritas spiritual di tanah suci tidak akan memberikan gelar Sultan bagi raja Madura mengingat Madura sebenarnya termasuk kekuasaan Mataram Islam. Penganugerahan gelar Sultan bagi penguasa Madura oleh Belanda merupakan taktik Devide Et Empera yang dilakukan agar Madura mau melawan hegemoni Mataram.
Fakta-fakta diatas seharusnya menyadarkan kita bahwa aura kemerdekaan di Madura tidaklah seheroik aroma kemerdekaan di tempat lain. Pada masa perang kemerdekaanpun Madura pernah mentahbiskan diri menjadi negara Madura dibawah asuhan seorang Yahudi Belanda, Charles Olke Van Der Plass. Ironisnya, negara boneka Belanda yang didirikan 20 Februari 1948 ini justru dipimpin bangsawan Madura, R.A.A Tjakraningrat sebagai wali negara. Van Der Plass sendiri merupakan orientalis yang ahli masalah Madura dan juga pakar keislaman. Kapabilitas orientalismenya sejajar dengan Snouck Hurgronje di Aceh. Van Der Plass pun lihai dalam mengelabui masyarakat Madura. Pada tahun 1930-an, Dia pernah berkhotbah di masjid Jami’ Sumenep dan disangka sebagai seorang muslim. Van Der Plass merupakan sosok Islamolog Belanda pertama yang ahli masalah Islam dan Madura sekaligus.