Desa Pinggirpapas, dari Garam sampai Nyadar

GARAM5 Setiap orang pasti mengenal garam. Apalagi masyarakat Madura, dan Sumenep pada khususnya. Seperti yang kita tahu penghasil garam terbesar di Indonesia ialah pulau Madura yang pusatnya berada di kabupaten Sumenep. Garam merupakan komoditas utama di Sumenep. Komoditas ini merupakan sumber penghasilan bagi sebagian masyarakat Sumenep dan mempunyai peranan penting dalam laju perekonomian kabupaten paling timur di nusa Madura ini.

Berawal dari Pinggirpapas

Kecamatan Kalianget bisa dikata ujung dari pulau Madura. Kecamatan ini terdiri dari tujuh desa, dimulai dari desa Marengan Lao’, Karanganyar, Pinggirpapas, Kertasada, Kalimo’ok, Kalianget Barat, dan Kalianget Timur. Nah, seperti di permulaan tulisan ini, bicara masalah garam maka tak bisa lepas dari salah satu dari tujuh desa tersebut, yakni desa Pinggirpapas sebagai asal muasalnya.

Pagi menjelang siang memasuki awal bulan Oktober media ini menuju kawasan kecamatan Kalianget. Melewati bangunan SMP Negeri 5 Marengan, yang konon dulu merupakan rumah kediaman seorang berkebangsaan Belanda bernama Dirk Van Duyne. Duyne merupakan salah seorang pengusaha tersohor di era kolonial. Ia hidup di kurun abad kesembilan belas. Setelah itu Info juga melewati bekas-bekas peninggalan Belanda lainnya yakni sebuah jembatan yang oleh orang sekitar dikenal dengan sebutan ghaladag rantai (jembatan rantai atau jembatan angkat) yang dulu disebut Ophall burgh.

Jembatan ini dulu bersifat fleksibel. Karena posisinya yang membelah kali Marengan, yang dulu merupakan lalu lintas perdagangan jalur air dan sekaligus jalur masuk menuju kota Sumenep, jembatan ini didesain menjadi jembatan tarik. Jembatanpun bisa diangkat jika ada perahu atau kapal yang melintasi kali tersebut. Namun kendati fisik jembatan sudah disulap menjadi jembatan beton biasa, hingga kini namanya tetap tak berubah. Masyarakat Sumenep tetap menyebutnya ghaladag rantai.

Dari jembatan tersebut lurus ke arah selatan, di situlah posisi desa Pinggirpapas. media ini langsung meluncur menuju balai desa. Disana  disambut oleh Kades H. Abdul Hayat alias H. Obaid AK dan sekdes Suhrawi.

Abdul Hayat sudah dua kali menjabat sebagai kepala desa. Dalam pemilihan pertama pada Januari 2007 silam, Hayat dengan tanda gambar jagung mengalahkan tiga calon lainnya yakni Abdurrahman, Mashari, dan Mukarip.

“Pemilihan waktu itu kami memperoleh 972 suara,” cerita Hayat.

Hak pilih waktu itu 3.308 orang. Sementara tiga calon lainnya yaitu Abdurrahman memperoleh 724 suara, Mashari 639 suara, dan Mukarip 761 suara. “Persaingannya memang ketat. Namun pemilihan berlangsung demokratis dan aman,” tegasnya.

Sementara dalam pemilihan periode kedua yang berlangsung bulan Mei tahun ini, Hayat hanya memiliki seorang pesaing, yakni Elli Erma Junaida. Hayat alias H. Obaid menang mutlak dengan perolehan 2469 suara, sedang Elli hanya 754 suara. Hak pilih berjumlah 3.464 orang.

Kembali pada masalah garam, menurut Hayat, dari hasil penelitian secara umum memang desa Pinggirpapas merupakan tempat yang strategis dalam produksi garam. Sebab dipengaruhi oleh angin kering, dan lagi jenis tanahnya termasuk jenis tanah alluvium hidromof bertekstur halus (lempung). “Ditambah dengan kondisi iklim di sini yang beriklim tropis,” tambahnya.

Luas lahan tambak di Pinggirpapas terbilang luas dibanding enam desa lainnya. Pinggirpapas memiliki luas tambak berkisar 826,77 Ha. Setelah itu desa Karanganyar dengan luas tambak 630,23 ha, yang disusul Marengan Lao’ (351,47 ha), Kalimo’ok (104,05 ha), Kertasada (94,82 ha), Kalianget Barat (38,88 ha), dan posisi buncit diduduki Kalianget timur dengan luas lahan tambak 16,29 ha.

Berdasar data BPS tahun 2011, dengan luas tersebut Pinggirpapas mampu memproduksi hingga 92.512 ton per tahun, dengan produktivitas 128 ton/ha. Meski begitu, dari data yang sama Pinggirpapas masih dikalahkan tetangganya Karanganyar yang waktu itu mampu menghasilkan 100.800 ton dengan produktivitas 160 ton/ha.

***

garam rakyat 1Sekarang kita masuk pada asal mula kejadian garam. Kejadiannya bermula dari serangan kerajaan Bali terhadap keraton Sumenep yang pada waktu itu diperintah oleh raja kembar, yakni Pangeran Lor dan Pangeran Wetan. Keduanya merupakan putra dari Tumenggung Kanduruhan (Notokusumonegoro), Adipati Sumenep yang memerintah sejak tahun 1559-1562 menggantikan Raden Ario Wonoboyo atau Pangeran Seding Puri, cucu menantu Jokotole. Sedangkan Tumenggung Kanduruhan ini adalah putra Raden Fatah atau Sultan Abdul Fattah, Sultan Demak pertama.

Dalam buku Babad Sumenep karya Musaid atau Raden Werdisastra, serangan tersebut terjadi di kurun pertengahan abad keenam belas, sekitar tahun 1560-an. Saat itu serangan pertama Bali berhasil menggoyang pertahanan pasukan Sumenep, bahkan Raja Sumenep sendiri Pangeran Lor terluka parah hingga menghembuskan nafas terakhirnya. Sementara adiknya Pangeran Wetan yang waktu itu berkunjung Demak langsung kembali ke Sumenep ketika mendengar kabar tersebut. Setelah itu, dengan dibantu mertuanya Raja Pamekasan sekaligus Sampang, yakni Pangeran Bonorogo atau Kangjeng Kiyai Adipati Pramono, Pangeran Wetan berhasil meluluhlantakkan pasukan Bali, sekaligus menghabisi nyawa Raja Bali dan seluruh keluarganya, serta pembesar-pembesar lainnya.

Nah, sisa-sisa pasukan Bali yang kalah tersebut setelah diampuni menyingkir ke arah timur keraton Karangsabu. Sebagian kecil menyingkir ke desa Karangpanasan dan menetap di kampung Bhilla’an, dan sebagian besar menyingkir ke desa Pinggirpapas. Di desa Pinggirpapas ini mereka dijamin setia kepada Sumenep oleh seorang tokoh atau ‘ulama pendatang bernama Pangeran Anggasuta atau Syekh Onggosuto. Menurut sejarah beliau mendapat hibah tanah dari Pangeran Lor, Raja Sumenep, yakni desa Pinggirpapas dan sekitarnya. Mengenai asal-usul Syekh Onggosuto banyak versi. Salah satu versi menyebutkan bahwa beliau adalah saudara Pangeran Ujung Pangkah, Gresik. Pangeran Ujung Pangkah ini adalah putra Sunan Kulon atau Sunan Ali Sumodiro, Giri. Sedangkan Sunan Kulon adalah putra Sunan Giri (‘Ainul Yaqin), Gresik. Jika demikian Pangeran Onggosuto bersaudara juga dengan Nyai Gede Kedatun (ibunda Sunan Cendana Kwanyar, Bangkalan) dan Sunan Prapen (Sunan Giri II).

Terlepas dari berbagaram okgai versi tentang asal-usul Syekh Onggosuto, yang jelas beliau merupakan orang berpengaruh sehingga bisa memberi jaminan kepada Raja Sumenep. Tak hanya itu, melalui beliau, pasukan Bali tersebut dikenalkan pada agama Islam dan berlanjut menjadi penganutnya. Setelah di bawah jaminan, seiring waktu pasukan Bali itu merasa resah. Pasalnya mereka tak punya keterampilan kecuali berperang, sehingga mereka pun kesulitan mendapatkan mata pencaharian. Berdasarkan cerita tutur masyarakat setempat, akhirnya mereka menemui Onggosuto untuk memecahkan masalahnya. Oleh Onggosuto mereka disuruh menunggu, karena sang Syekh akan melakukan istikharah. Menurut petunjuk, Onggosuto diceritakan disuruh berjalan menuju pesisir pantai. Karena tanah di pantai bersifat lembek, maka jejak-jejak telapak Onggosuto terbentuk jelas. Jejak-jejak tersebut kemudian diisi air laut.

Beberapa hari kemudian, Onggosuto kembali mendapat petunjuk agar mendatangi pantai yang mencetak jejak-jejak kakinya. Nah, ketika sampai di sana, Onggosuto mendapati bekas tapak kakinya dipenuhi benda berwarna putih, yang selanjutnya dinamainya Buja (Ind: garam). Onggosuto pun kemudian mendapat petunjuk juga mengenai cara mengolah garam yang kemudian diajarkannya pada penduduk atau para prajurit Bali, seperti cara memetak tanah untuk ladang garam, dan juga cara memindah-mindah air laut. Singkat cerita, berita penemuan garam itu pun tersebar ke seluruh penjuru daerah, yang hingga kini masyarakat bisa memetik buah dari peninggalan Onggosuto itu.

bersambung ke Budaya Nyadar Upacara Tanda Syukur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.