Mien Achmad Rifai, Penulis dan Ahli Biologi Asal Madura

Mien Achmad Rifai, juga penelitik batik Indonesia

Sebagai seorang ilmuwan, Pak Mien banyak mengikuti pertemuan ilmiah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pertemuan ilmiah dalam negeri yang diikuti, antara lain, Biotrop Indonesia National Meeting di Yogyakarta (1968), Simposium Fitopatologi di Bogor (1970), Asia Pacific Weed Seince Society Conference di Jakarta (1977), Pemanfaatan Biologi Terapan dalam Kewiraswastaan di Unsoed, Purwokerto (1987, Sidang Mabbim Ke-35 di Bukittinggi (1996), Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah di Unair, Surabaya (1997), dan  Seminar Nasional Penggalang Taksonomi untuk Keperluan Masa Depan Indonesia di UNS, Solo (2003),

Pertemuan ilmiah di luar negeri yang dihadiri oleh Pak Mien, antara lain,   XII Pacific Science Congress di Canberra, Australia (1971), First ASEAN Orchid Congress  di Bangkok (1975), Seminar on Tropical Fungal Ecologi di Inggris (1988), Sidang Pakar Mabbim Ke-4 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam (1996), ABB First International Conference of  IABG-Asian Devision di Tokyo, Jepang (1991), dan ASEAN- UNDP Rountable Meeting on Networking of Industrial Research Institute di  Manila, Pilipina (1997).

Meskipun Pak Mien dikenal sebagai pakar biologi, ia sangat peduli terhadap bahasa Indonesia dan bahasa asal daerahnya Madura.

Tentang bahasa Madura, Pak Mien menyebut, minimnya buku-buku berbahasa Madura juga ditengarai menjadi penyumbang tergerusnya bahasa Madura. Buku-buku berbahasa Madura sampai saat ini bisa dihitung dengan jari. Sulitnya menemukan tulisan berbahasa Madura menyebabkan generasi muda tidak memiliki dasar untuk menggali Madura lebih banyak. ”Tidak ada sekarang buku-buku berbahasa Madura, sehingga yang membaca karya berbahasa Madura juga tidak ada. Yang tinggal cuma bahasa lisannya saja. Bahasa tertulis tidak ada, padahal sangat penting,” ujarnya

Ia mengatakan, kita sudah kehilangan dua generasi pembicara bahasa Madura. Bahkan sejumlah kajian menunjukkan, anak-anak sekarang sudah mulai kehilangan bahasa ibu, bahasa pertama yang dipelajari oleh seseorang. Sejak kecil anak-anak sudah diajari bahasa Indonesia atau bahasa asing. Bahasa Madura dianggap berada di urutan kedua. Padahal selain penguasaan bahasa asing, ada hal lain yang perlu ditonjolkan, yakni bahasa ibu. ”Yang lebih penting adalah bahasa ibu kita, bahasa Madura,” katanya.

Sejak tahun 1973, ia aktif dalam Panitia Pembinaan Bahasa Indonesia. Pada tahun 1974, ia mulai terjun dalam kegiatan Mabbim dengan mengikuti Sidang Mabbim Ke-4 di Semarang. Dalam Sidang Mabbim selanjutnya, ia juga sering mengikutinya, antara lain Sidang Mabbim Ke-5 (1974), Sidang Mabbim Ke-6 (1975), Sidang Mabbim Ke-7 (1976), Sidang Mabbim Ke-8 (1977), Sidang Mabbim Ke-20 (1983), Sidang Mabbim Ke-21 (1984), Sidang Mabbim Ke-22 (1985), dan  Sidang Mabbim Ke-35 (1996).

Bersama sastrawan Sumenep: Noci Camelia, Jamal D Rahman, Mahwi Airtawar, Mien Achmad Rifai dan Syaf Anton Wr

Selain itu, Pak Mien juga aktif mengikuti Sidang Pakar Mabbim, antara lain Sidang Pakar Ke-1 (1987), Sidang Pakar Ke-3 (1989), Sidang Pakar Ke-4 (1990), Sidang Pakar Ke-6 (1992), dan Sidang Pakar Ke-14 (2001). Pada tahun 1980, Pak Mien menjadi Panitia Kerja Sama Kebahasaan (Pakersa) Mabbim.

Keaktifannya di Mabbim menghasilkan kamus istilah biologi. Ia juga terlibat dalam menyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia  dan merevisi Pedoman Umum Pembentukan Istilah Indonesia. Dalam kegiatan bahasa yang lain, seperti kongres, Pak Mien juga mengikutinya,antara lain, Kongres Bahasa Indonesia IV (1983)  dan Kongres Bahasa Indonesia VI (1993). Pada tahun 2002 ia menjadi Ketua Badan Pertimbangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional (2002).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.